Wednesday, 4 September 2024

Kajian Rabu: Superior // Ustadz Abdurrahman Zahier hafizhahullah

Kajian Rabu with The Rabbaanians
Superior
Oleh: Ustadz Abdurrahman Zahier hafizhahullah
Masjid Agung Al Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
Rabu, 4 September 2024

Superior adalah merasa diri lebih baik dari orang lain. Hal semacam ini sudah dibahas di dalam agama kita.

Allah mampu menghinakan para raja tanpa mengambil kerajaannya. Allah mampu memberikan kebahagiaan orang miskin tanpa harus memberikan harta.

Allah seringkali memberikan hal-hal yang tidak sesuai ekspektasi. Tujuannya adalah untuk menghindari kita dari rasa ujub, untuk berserah diri kepadaNya, bukan untuk menyombongkan diri.

Abu Bakar Shiddiq radhiyallahu 'anhu ketika dipuji, beliau berdoa:
"Yaa Allah, Engkau lebih tahu akan diriku daripada aku, dan aku lebih tahu akan diriku daripada mereka. Yaa Allah, jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka sangka dan ampunilah aku dari apa-apa yang tidak mereka ketahui, dan janganlah Engkau menyiksaku dengan apa yang mereka katakan.” (Kanzul Ummal No. 35704)

Ketika seseorang dipuji oleh orang lain, itu adalah musibah berat. Mereka tidak tau aib yang Allah tutupi untuk kita. Ketika seseorang merasa superior, maka seharusnya kita mengingat aib-aib kita. Seketika hilang perasaan bangga di dalam diri kita sendiri.

Ketika orang beriman diberikan kenikmatan, mampukah dia bersyukur? Bukan malah merasa bangga, bukan malah melupakan nikmat yang diberikan.

Diriwayatkan dari al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi ﷺ melakukan shalat hingga kedua telapak kaki beliau membengkak, lalu ada yang berkata kepada beliau, “Apakah engkau memaksakan diri untuk ini, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan ampunan bagimu atas dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?” Beliau menjawab:

أَفَلاَ أَكُوْنُ عَبْدًا شَكُوْرًا.

"Apakah tidak boleh jika aku termasuk hamba yang bersyukur?” (HR. Bukhari)

Orang beriman itu memiliki banyak udzur.

Di antara sebab seseorang berlebihan ketika dipuji, maka kemungkinan ada 2 sebab:
1. Sejak kecil selalu dipuji; atau
2. Tidak pernah dipuji sama sekali 

Di antara doa ketika kita melihat seseorang ditimpa musibah, baik secara fisik maupun karakternya yaitu hendaknya kita membaca:

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى عَافَانِى مِمَّا ابْتَلاَكَ بِهِ وَفَضَّلَنِى عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيلاً

"Segala puji Allah yang telah membuat aku selamat dari apa yang Allah timpakan kepada orang ini."

Kalau kalimat itu diucapkan, maka ia akan diselamatkan dari musibah tersebut, musibah apa pun itu semasa ia hidup. (HR. Tirmidzi No. 3431 dan Ibnu Majah No. 3892)

Dalam kehidupan ini memang tidak selalu ideal. Ideal adalah ketika kita telah menginjakkan kaki kita di surga. Allah menciptakan tidak ideal adalah supaya kita rindu surga dan tidak takut mati. Ada orang yang selalu merasa di atas kita, ada orang yang selalu menyakiti hati kita, dan hendaknya kita bersabar, sebab pahala kesabaran tidak terbatas.

Ketika seseorang meyakini bahwa kita memiliki sifat superior, maka sebaiknya kita muhasabah, sehingga kita selalu melihat kesalahan di dalam diri kita.

Sifat ujub dan riya' yang ada pada diri seseorang, dikatakan oleh Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah bahwa
"Dia tidak mengamalkan إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ"

Kalau kita mengamalkan ayat tersebut, maka seharusnya kita bisa menghancurkan sifat ujub dan riya' tersebut.

Lihatlah bagaimana tokoh kesesatan seperti tokoh Mu'tazilah, Washil bin Atho'. Dia sangat cerdas. Pernah suatu ketika dia diuji oleh orang (dia tidak bisa mengatakan huruf R) untuk menjadi khatib Jumat dengan tujuan untuk mempermalukannya. Ternyata dia menyusun kata-kata dalam khutbahnya tersebut tidak ada huruf R, sehingga dia bisa melewati khutbahnya. Tapi dia menyimpang dari pemahaman Ahlussunnah Wal Jamaah.

Setiap kali kita mendapati kelebihan dari kemampuan atau yang lainnya, maka hendaknya kita menisbatkan itu kepada Allah.

Seseorang yang menganggap superior dari orang lain, maka Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata bahwasanya penyebab utamanya adalah kebodohan, karena dia belum melihat dengan jangkauan yang lebih luas.

Ketika kita ingin ujub, maka kita bisa melihat karya-karya para ulama, maka kita tidak ada apa-apanya. Kita merasa lebih dari orang lain, karena memang kita hanya memiliki pandangan yang sempit.

Di antara hal yang bisa mengikis sifat ujub dan menumbuhkan sifat tawadhu' adalah dengan terus belajar ilmu agama.

Di antara sifat tawadhu' adalah kita melihat orang lain lebih baik dari kita, bukan sebaliknya.

Di antara tahapan di dalam ilmu adalah:
1. Sombong
2. Rendah hati
3. Tidak ada apa-apanya

Rasulullah ﷺ bersabda:
"Dan tidak ada orang yang tawadhu’ (merendahkan diri) karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim No. 2588)

Muhasabah harus pada 3 perkara, yaitu:
1. Amalku masih sedikit
2. Dosaku masih banyak
3. Kenikmatan Allah sudah sangat sempurna

Kalau kita merasa bahwa amal kita sudah banyak, dosa tinggal sedikit, dan kenikmatan Allah masih kurang, maka kita harus memperbaiki muhasabah.

Tujuan kita beribadah adalah untuk menghinakan diri kepada Allah serendah-rendahnya.

Rasulullah ﷺ bersabda:
"Orang yang berbangga dengan sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan, bagaikan menggunakan dua pakaian kedustaan” (HR. Bukhari No. 5219 dan Muslim No. 2130).

Beberapa hal yang perlu kita perhatikan agar kita tidak merasa superior adalah kita menyadari bahwa kita tidak memiliki daya dan upaya selain karena pertolongan Allah.

Tanggapan kita terhadap sesuatu adalah iman kita. Apakah yang pertama kita cari adalah Allah dahulu atau makhlukNya? Maka orang beriman harus mendahulukan Allah dalam segala hal yang kita alami. Allah yang Memulai, maka Allah juga Yang Mengakhiri.

No comments:

Post a Comment