Kajian Ahad
Kiat Istiqamah di atas Manhaj
Oleh: Ustadz Abu Thohir Jones Vendra hafizhahullah
Masjid Nurul Iman, Blok M Square, Jakarta Selatan
Ahad, 20 Rajab 1446 / 19 Jan 2025
Jika kita melihat kehidupan sebagian dari Nabi dan Rasul seperti kehidupan Nabi Ibrahim 'alayhissalam. Beliau memiliki ayah yang tidak sejalan. Sebagai seorang anak, tentu Nabi Ibrahim 'alayhissalam besar harapannya agar Allah memberikan hidayah untuk ayah beliau. Namun hingga akhir hayatnya, bagaimana pun besarnya harapan Nabi Ibrahim 'alayhissalam, Allah tetap tidak memberikan hidayah kepada Ayahnya walaupun anaknya adalah seorang Nabi.
Begitupun juga kisah Nabi Nuh 'alayhissalam. Beliau memiliki istri dan anak yang juga tidak seiman. Ketika Nabi Nuh 'alayhissalam bersama orang-orang beriman diselamatkan oleh Allah, beliau melihat anaknya terkena banjir. Saat itu Nabi Nuh 'alayhissalam masih berusaha agar Allah memberikan hidayah kepada anaknya. Namun anaknya tetap tidak beriman.
Allah Ta'ala berfirman:
"Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.” Anaknya menjawab: “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!” Nuh berkata: “Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang”. Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan” (Huud : 42-43).
Di dalam kehidupan Nabi Muhammad ﷺ, di antara orang yang berjasa dalam kehidupan beliau adalah pamannya, yaitu Abu Thalib yang selalu membela dan mengasuh Nabi. Sebagai seorang keponakan, besar keinginan Nabi ﷺ agar pamannya diberikan hidayah oleh Allah, hingga Nabi ﷺ meminta pamannya untuk bersyahadat dan beriman kepada Allah, namun Allah tetap tidak beriman.
Pernah terpikir ketika Allah memberikan hidayah ke dalam hati kita? Pernahkah kita berpikir, apakah kita memiliki hubungan yang erat dengan orang-orang yang mulia. Lalu mengapa Allah memberikan kita hidayah, walaupun kita tidak memiliki ikutan erat dengan orang shalih, itu karena Allah yang telah memilih langsung agar kita mendapatkan hidayah.
Jika kita melihat begitu berharganya hidayah, sehingga Allah terangi hati kita, Allah berikan kemudahan untuk beribadah kepadaNya, Allah mudahkan hati kita untuk mengikuti Alquran dan Sunnah, maka ini adalah kemuliaan. Maka kita harus berusaha mempertahankan hidayah tersebut sampai akhir hayat.
Setelah kita merasakan syukur atas Hidayah yang Allah berikan kepada kita, maka kita juga harus berhati-hati, bagaimana kita bisa menjaga karunia Allah yang besar dan berharga ini, bagaimana kita bisa istiqamah di atas hidayah tersebut. Kita perlu untuk bercermin dengan metode dari Hudzaifah bin Yaman.
Suatu hari Hudzaifah bertanya kepada Nabi ﷺ, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kita dulu berada dalam kejahilan dan kejahatan, lalu Allah mendatangkan kepada kita kebaikan ini (maksudnya Islam), apakah setelah kebaikan ini akan ada keburukan?”
Rasulullah ﷺ menjawab, “Ya.”
"Lalu apakah setelah keburukan itu akan datang lagi kebaikan?” tanya Hudzaifah kembali.
“Ya, dan di dalamnya ada kerusakan yang tersembunyi.”
"Apa kerusakan yang tersembunyi itu wahai Rasulullah?”
“Orang-orang yang menunjuki tanpa petunjuk yang benar, ada hal yang engkau terima dari mereka dan ada pula yang engkau ingkari.”
“Apakah setelah kebaikan itu ada lagi keburukan?”
“Ya orang-orang yang berdakwah di pintu-pintu Jahannam, siapa yang menyambut seruan mereka akan mereka lemparkan ke dalamnya.”
"Ya Rasulullah, terangkanlah mereka kepada kami.”
“Mereka juga dari bangsa kita dan berbicara memakai bahasa kita.”
"Apa yang engkau wasiatkan kepadaku andaikan aku mendapat masa itu?”
“Berpegang teguh dengan jamaah muslimin dan pemimpin mereka.”“Andaikan mereka tidak punya jamaah dan pemimpin?”
"Jauhi semua kelompok itu walaupun untuk itu engkau akan berpegangan pada akar pohon sampai kematian menjemput dan engkau tetap dalam keadaan demikian.”
Oleh karena itu, Hudzaifah menjalani kehidupan dengan sangat menyadari dan peka terhadap berbagai fitnah dan celah-celah keburukan sehingga ia bisa menghindarinya dan juga memperingatkan manusia agar tidak terjebak ke dalamnya. Ia pernah berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling tahu tentang seluruh fitnah yang akan terjadi saat ini sampai hari Kiamat nanti.”
Jika kita ingin istiqamah, maka kita lihat dari sisi keburukan jalan yang ditempuh. Inilah yang disebut sebagai fitnah.
Bagi orang-orang yang diberikan hidayah, maka mereka akan diuji dengan orang keburukan
1. Fitnah syahwat,
adalah hawa nafsu dalam diri seseorang. Allah telah menitipkannya di dalam diri kita
"Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS. Yusuf : 53)
Keinginan untuk terkenal juga termasuk ke dalam syahwat.
2. Fitnah syubhat,
adalah kerancuan ilmu, sehingga keliru di dalam pemahaman, lalu salah di dalam mengambil kesimpulan.
Di antara yang menjadi virus sehingga seseorang terkena syubhat adalah:
1. Su'ul Qasdi, memiliki tujuan yang buruk.
Jika ini berkaitan dengan niat, maka kita perlu untuk selalu meluruskan niat.
Ketika seseorang ingin membuat kebaikan, kita harus mengetahui apakah niat kita terganggu dengan tujuan lain.
Ada 3 orang yang Allah nyalakan api neraka kepadanya, yaitu yang disebutkan oleh Hadits berikut ini.
Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Dia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengenalinya. Allah bertanya kepadanya: ‘Amal apakah yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Ia menjawab: ‘Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.’ Allah berfirman: ‘Engkau dusta! Engkau berperang supaya dikatakan seorang yang gagah berani. Memang demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu atas mukanya (tertelungkup), lalu dilemparkan ke dalam neraka.
Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca Alquran. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya: ‘Amal apakah yang telah engkau lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab: ‘Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya, serta aku membaca alquran hanyalah karena engkau.’ Allah berkata: ‘Engkau dusta! Engkau menuntut ilmu agar dikatakan seorang ‘alim (yang berilmu) dan engkau membaca alquran supaya dikatakan (sebagai) seorang qari’ (pembaca alquran yang baik). Memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.
Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengenalinya (mengakuinya). Allah bertanya: ‘Apa yang engkau telah lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Dia menjawab : ‘Aku tidak pernah meninggalkan shadaqah dan infaq pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau.’ Allah berfirman : ‘Engkau dusta! Engkau berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan (murah hati) dan memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.’” (HR. Muslim)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata agar kita selalu menjaga niat dan keikhlasan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan." (HR. Muslim)
2. Su'ul Fahmi, yaitu keburukan di dalam pemahaman.
Kesalahan di dalam pemahaman akan menjerumuskan kita kepada syubhat.
Setelah kita mengetahui penyebab, maka kita harus memiliki prinsip bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati, salah satunya adalah dengan cara kita terus menuntut ilmu. Belajar tentang kedudukan ikhlas dari apa yang kita lakukan. Mulailah untuk meluruskan pemahaman kita, terus hingga meraih berkah dari Allah dengan jalan ilmu tersebut. Karena bisa jadi ada kesalahan di dalam pemahaman, sehingga syubhat masuk ke dalam kepala kita. Maka kita harus memperbaiki langkah kita di dalam belajar.
Kebanyakan yang terjadi pada saudara kita ketika menghadiri majelis ilmu, selalu saja kita melihat masih banyak yang salah dalam memahami ilmu.
Dua fitnah inilah yang bisa membuat seseorang terbawa keluar dari hidayah. Maka kita harus berhati-hati, karena dua jalan inilah yang dilalui oleh iblis. Dia akan terus berusaha untuk membuat orang-orang tergelincir, menguji orang dari sisi syahwat dan syubhat.
Di dalam menuntut ilmu, ada prinsip yang disebut dengan mendahulukan yang lebih penting dari yang penting.
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah)
Siapapun dia, di manapun dia berada, apapun profesinya, selama dia seorang Muslim, maka WAJIB menuntut ilmu. Kalau dikatakan wajib, maka berdosa jika kita tidak mempelajarinya dengan benar. Lalu apakah ilmu yang dimaksud adalah ilmu agama?
Pemahaman tentang hadits wajibnya menuntut ilmu harus kita luruskan, agar tidak keliru memahaminya.
Imam Ibnu Abu Hubairah menguraikan,
"Ilmu yang wajib dipelajari adalah ilmu yang di atas ilmu itu kita bangun ibadah wajib kita."
Maksudnya adalah dalam perkara ibadah, maka kita wajib memiliki ilmu tentang ibadah tersebut.
Kunci dari segalanya, kalau kita ingin istiqamah, sandaran tersebar kita adalah rahmat Allah, yaitu dengan selalu meminta kepadaNya, dan doa yang selalu dibaca oleh Nabi ﷺ adalah:
يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِيْنِكَ
"Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agamaMu).’” (HR. Tirmidzi)
No comments:
Post a Comment