Kajian Senin
Kitab Talbis Iblis
"Akal dan Wahyu"
Oleh: Ustadz Syafiq Al Khatieb hafizhahullah
Masjid Nurul Iman, Blok M Square, Jakarta Selatan
Senin, 21 Rajab 1446 / 20 Jan 2025
Ulama-ulama Asy'ari memiliki ushul. Ketika mereka membahas masalah Aqidah, mereka benar-benar membangun aqidah dengan ilmu kalam atau filsafat. Kita dapati di kitab-kitab mereka sedikit sekali dalil yang dinukil. Menurut keyakinan mereka, Alquran dan Hadits pendalilannya bersifat prasangka, sedangkan akal adalah benar.
Ketika membahas sifat yang ditetapkan, landasan kaum Jahmiyyah, Asy'ariyyah, Mu'tazilah, sama-sama menggunakan akal, namun karena itulah pemahaman mereka berbeda-beda. Mereka menetapkan 7 sifat Allah murni dengan akal.
Kalau sebagian ulama yang terpengaruh pemikiran Asy'ariyyah, mereka tidak menggunakan ilmu kalam. Mereka menetapkan bahwasanya Imam Nawawi bahkan Imam Ibnul Jauzi adalah seorang Asy'ariyyah, padahal itu keliru. Bahkan Imam Ibnul Jauzi memiliki kitab untuk membantah pemahaman mereka.
Kitab (Talbis Iblis) ini memiliki 13 Bab.
4 bab pertama sebagai pembuka tentang pentingnya berpegang teguh dengan Sunnah. Kemudian di Bab selanjutnya, Imam Ibnul Jauzi, membantah syubhat serta penyimpangan yang ada terutama dari kaum Sufi ahlul bid'ah.
Bab 5 hingga akhir, beliau menjelaskan jebakan-jebakan Iblis yang seolah-olah itu adalah kebaikan, yang banyak dilakukan oleh sebagian besar kaum Muslimin. Allahul musta'an.
Imam Ibnul Jauzi menyebutkan 3 perkara di dalam kitab ini, yaitu
1. Akal dan wahyu
2. Hikmah diutusnya para Rasul
3. Hakikat agama Islam
Orang-orang yang sangat membanggakan ilmu filsafat menyebabkan terjadinya penyimpangan di dalam Islam.
Sesungguhnya nikmat terbesar yang Allah tumbuhkan di dalam diri manusia adalah nikmat akal. Karena akal adalah alat untuk mengetahui dan mengenal Allah. Akal juga sebab yang dengannya kita mempercayai Rasulullah ﷺ. Hanya saja, ketika akal tidak bisa berdiri sendiri, maka Allah mengutus para Rasul.
Perumpamaan syariat bagaikan matahari, sedangkan akal adalah seperti mata. Dengan akal, ini membedakan antara manusia dengan hewan. Akal juga menjadi barometer seseorang mendapatkan beban syariat atau tidak.
Di dalam Islam, akal termasuk perkara yang paling dijaga. Jika akal dilanggar, maka ada hukumannya.
Akal di dalam Islam tidak ditinggalkan begitu saja dan tidak juga diperlakukan secara berlebihan. Ahlussunnah menjadikan akal sesuai porsinya.
"Katakanlah: "Dialah Yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati". (Tetapi) amat sedikit kamu bersyukur." (QS. Al Mulk : 23)
Allah bahkan sering menyebutkan tentang akal di dalam Alquran.
Beberapa sudut pandang tentang akal di dalam Alquran bisa ditunjukkan dari beberapa hal yaitu:
1. Allah memuji orang-orang yang berakal
"Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa." (QS. Al Baqarah : 178)
"Allah menganugerahkan al hikmah (kepahaman yang dalam tentang Alquran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendakiNya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)." (QS. Al Baqarah : 269)
Ada orang yang tidak menghargai akal, dan adab juga yang mengagungkan akal.
2. Diperintahkan dan dimotivasi untuk berpikir dan mentadabbur ayat-ayat Allah.
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal." (QS. Ali Imran : 190)
Pernahkah kita melihat ke dalam diri bagaimana Allah menciptakan kita dengan penciptaan yang luar biasa.
Maka dengan mentadabburinya, maka akan bertambah keimanan kita.
Allah memerintahkan kita untuk mentadabburi ayat-ayat Allah, dan itu tidak bisa dilakukan tanpa menggunakan akal.
"Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran." (QS. Shad : 29)
Kapan seseorang dibebani syariat adalah ketika dia bisa menggunakan akalnya. Orang yang tidak bisa menggunakan akalnya, maka tidak dibenarkan hukum syariat, di antaranya adalah orang gila sampai dia berakal.
Syariat menunjukkan bahwa Islam menghargai akal manusia, yaitu adanya hukuman bagi orang yang merusak akal.
Di antara bukti Allah menjaga akal adalah:
1. Dijaganya akal dari perkara-perkara yang bisa merusak
2. Dilarang mengkonsumsi sesuatu yang bisa merusak akal seperti khamr
3. Dijaganya akal dari perkara-perkara yang maknawi seperti sihir atau perdukunan
Ada juga hukuman bagi orang yang membuat seseorang kehilangan akalnya.
3. Dilarang untuk taqlid kepada akal.
Kita diperintahkan untuk belajar. Dalam perkara agama, kita tidak boleh taqlid. Beragama dengan taqlid kepada ajaran nenek moyang, tradisi, itu yang membuat rusak agama ini.
"Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (QS. Al Baqarah : 170)
"Dan berkatalah orang-orang musyrik: "Jika Allah menghendaki, niscaya kami tidak akan menyembah sesuatu apapun selain Dia, baik kami maupun bapak-bapak kami, dan tidak pula kami mengharamkan sesuatupun tanpa (izin)Nya". Demikianlah yang diperbuat orang-orang sebelum mereka; maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah) dengan terang." (QS. An Nahl : 35)
Khususnya di bulan Rajab, sudah dikatakan bahwasanya semua amalan di bulan ini adalah bathil, tapi banyak yang menolak dan tidak menerima karena mereka lebih mengikuti akal dengan taqlid, mengikuti apa kata nenek moyang.
Syariat kita memerangi perkara yang khurafat, karena itu merusak akal. Itu sebabnya diharamkan perdukunan, sihir, tukang ramal, dan semisal, karena itu merendahkan akal.
Akal ada batasannya ketika dalam bahasan Aqidah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
“Bahkan akal adalah syarat untuk mengilmui sesuatu dan untuk beramal dengan baik dan sempurna. Akal pun akan menyempurnakan ilmu dan amal. Akan tetapi, akal tidaklah bisa berdiri sendiri. Akal bisa berfungsi jika dia memiliki insting dan kekuatan sebagaimana penglihatan mata bisa berfungsi jika ada cahaya. Apabila akal mendapati cahaya iman dan Alquran barulah akal akan seperti mata yang mendapatkan cahaya mentari. Jika bersendirian tanpa cahaya, akal tidak akan bisa melihat atau mengetahui sesuatu.” (Majmu’ Al Fatawa, 3/338-339)
Ada dua sikap ekstrim dalam mendudukkan akal.
Sikap pertama: Yang menjadikan akal sebagai satu-satunya landasan ilmu sedangkan dalil Al Qur’an atau dalil syar’i hanya sekedar taabi’ (pengikut). Akal pun dianggap sebagai sumber pertama dan dianggap akal tidak butuh pada iman dan Alquran. Inilah sikap yang dimiliki oleh Ahlul Kalam.
Sikap kedua: Yang sangat mencela dan menjelek-jelekan akal, juga menyelisihi dalil logika yang jelas-jelas tegasnya, serta mencela dalil logika secara mutlak. Inilah sikap dari kaum Sufiyah. (Majmu’ Al Fatawa, 3/338)
Jika kita membaca kitab-kitab Sufi, maka isinya adalah perkara-perkara yang aneh, seperti ada yang Mi'raj berjumpa Allah dalam sehari sebanyak 70x. Ada juga yang membaca surah Yasiin dalam satu kali napas ribuan kali, dan seterusnya.
Di dalam Islam, akal memiliki porsi yang cukup, akal memiliki batasan, dan tidak boleh digunakan secara berlebihan.
Dalam Aqidah, ada perkara yang bisa dicapai oleh akal dan tidak bisa dicapai oleh akal.
Perkara yang bisa dicapai oleh akal adalah
1. Meyakini bahwasanya adanya Allah.
2. Kesempurnaan Allah, secara fitrah manusia meyakininya, termasuk dengan akal.
Sedangkan perkara yang tidak bisa dicapai dengan akal adalah
1. Memikirkan bagaimana dzat Allah, ini perkara yang mustahil bisa dijangkau oleh akal. Kita tidak menjangkau hakikat Allah dengan akal.
2. Berdalam-dalam mencoba memikirkan rahasia takdir.
3. Memikirkan perkara-perkara yang ghaib seperti ingin mengetahui hakikat sifat-sifat Allah.
4. Mengetahui hakikat ruh di dalam diri kita
5. Mengetahui hakikat jin dan malaikat
6. Mengetahui kehidupan di alam barzakh
Ketika kita memaksa akal untuk menyeburkan diri memikirkan perkara yang tidak bisa dijangkau oleh akal, maka kita akan menyimpang, karena akal kita terbatas.
Allah hanya mengabarkan tentang surga dan neraka, tetapi kita tidak akan mengetahui hakikatnya.
Banyak orang menyimpang di dalam Aqidah karena mereka terlalu memuja akalnya. Bahkan menurut mereka, Alquran dan Sunnah hanyalah persangkaan. Ketika dalil tidak bisa diterima oleh akalnya, maka mereka akan mentakwil, baik itu dalil dari Alquran dan Sunnah. Semua sifat Allah yang tidak sesuai dengan akal, mereka tolak.
Di antara penyimpangan adalah seseorang percaya ada orang mati bisa bangun dari kuburnya untuk perang dengan penjajah, tapi dia menolak bahwa Allah ada di atas Arsy walaupun banyak dalil menyebutkannya.
Syubhat akal pertama kali muncul dari kaum Jahmiyyah di masa Tabi'in. Mereka membawa syubhat ketika dalil bertemu dengan akal, maka akal harus didahulukan. Pemahaman ini kemudian diadopsi oleh Mu'tazilah, Asy'ariyyah dan Maturidiyyah.
Akal dan dalil tidak mungkin bertentangan, karena keduanya berasal dari Allah. Jika ada yang bertentangan, maka itu karena akalnya yang rusak atau dalilnya yang lemah dan palsu.
No comments:
Post a Comment