Saturday, 8 November 2025

Kajian Sabtu: Ayah yang Mengasihi // Ustadz Nizar Sa'ad Jabal hafizhahullah

Kajian Sabtu
Ayah yang Mengasihi: Pelajaran dari Dialog Nabi Ibrahim 'alayhissalam dengan Ayahnya
Oleh: Ustadz Nizar Sa'ad Jabal hafizhahullah
Sabtu, 17 Jumadil Awwal 1447 / 8 Nov 2025
Masjid Darsyafii, Pejaten, Jakarta Selatan

Dalam dialog Nabi Ibrahim dengan Ayahnya, dan Nabi Ibrahim disebut sebagai Abul Anbiya, Ayah para Nabi dan Rasul, karena lahir dari beliau Ishaq, Yaqub yang disebut sebagai Israil. Anak keturunan Yaqub disebut Bani Israil. Nabi Ibrahim juga memiliki anak bernama Ismail. Dari Ismail lahir keturunan Arab hingga Nabi Muhammad ﷺ. Jadi tepat jika Nabi Ibrahim dikatakan sebagai Ayahnya Para Nabi Dan Rasul.

Sebelum jadi Bapak, Nabi Ibrahim adalah seorang anak yang berdialog dengan Ayahnya. Beliau adalah anak dari Ayahnya yang seorang kafir.

"Ceritakanlah (Hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Alquran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi. Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya; "Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun? Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Rabb Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa adzab dari Rabb Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan." (QS. Maryam : 41-45)

Ini adalah dialog Nabi Ibrahim 'alayhissalam dengan Ayahnya, kemudian Ayahnya menjawab:

قَالَ أَرَاغِبٌ أَنتَ عَنْ ءَالِهَتِى يَٰٓإِبْرَٰهِيمُ ۖ لَئِن لَّمْ تَنتَهِ لَأَرْجُمَنَّكَ ۖ وَٱهْجُرْنِى مَلِيًّا

"Berkata bapaknya: "Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama". (QS. Ibrahim : 46)

Lalu apa jawaban Nabi Ibrahim?

"Berkata Ibrahim: "Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Rabbku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku. Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Rabbku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Rabbku". (QS. Maryam : 47-48)

Banyak pelajaran yang bisa diambil dari kisah ini, yaitu:
1. Sebelum menjadi Ayah dan sebelum menjadi anak, Nabi Ibrahim telah membuktikan dirinya menjadi orang yang Shiddiq (Jujur)

Sebelum Nabi Ibrahim menjadi seorang anak yang memberi masukan, berdiskusi atau berdialog dengan Ayah, juga ketika menjadi Ayah, maka beliau membekali diri terlebih dahulu.

Semua Nabi dan Rasul pasti Shiddiq, dan Shiddiq Yang paling besar adalah Shiddiq. Semua hamba Allah yang beriman diperintah untuk menjadi orang yang shiddiq.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَكُونُوا۟ مَعَ ٱلصَّٰدِقِينَ

"Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar." (QS. At-Taubah : 119)

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
"Kejujuran adalah jalan yang lurus. Setiap orang Islam harus melewati jalan yang lurus. Kalau dia tidak melewatinya, maka dia akan tersesat dan binasa. Yang membedakan orang beriman dengan orang munafiq adalah kejujuran."

Orang yang shiddiq memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah, yaitu di bawah para Nabi dan Rasul. Orang yang shiddiq juga memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari orang yang mati syahid.

وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّۦنَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَآءِ وَٱلصَّٰلِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُو۟لَٰٓئِكَ رَفِيقًا

"Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya." (QS. An Nisaa : 69)

Kita harus menjadi sosok yang shiddiq sebelum tampil di lingkungan sosial.

Ash-Shiddiq adalah keserasian antara batin dengan zhahir seseorang. Apa yang ada di dalam hatinya, maka itulah yang muncul dari perbuatan dan tutur katanya. Hatinya pun akan bersih dengan Tauhid dan keikhlasan dia kepada Allah. Keserasian inilah yang disebut dengan Shiddiq. Sedangkan ketidakserasian antara batin dengan zhahirnya disebut dengan munafiq.

Perbaiki hati, perbuatan, dan tutur kata kita. Jadikan semuanya menyatu, sehingga kita menjadi orang yang shiddiq.

2. Seseorang yang memiliki ilmu menjadikan dirinya berada dalam kemuliaan.

Ketika kita belajar ilmu, maka kita akan berada di atas kemuliaan. Jalan menuju kemuliaan adalah dengan ilmu.

بَلْ هُوَ ءَايَٰتٌۢ بَيِّنَٰتٌ فِى صُدُورِ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ ۚ وَمَا يَجْحَدُ بِـَٔايَٰتِنَآ إِلَّا ٱلظَّٰلِمُونَ

"Sebenarnya, Alquran itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang dzalim." (QS. Al Ankabut : 49)

Orang yang berilmu, maka hatinya ada Alquran. Sedangkan orang yang tidak berilmu, dia tidak memahami Alquran, hidupnya gelap.

وَلِيَعْلَمَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ أَنَّهُ ٱلْحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَيُؤْمِنُوا۟ بِهِۦ فَتُخْبِتَ لَهُۥ قُلُوبُهُمْ ۗ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَهَادِ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِلَىٰ صِرَٰطٍ مُّسْتَقِيمٍ

"Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Alquran itulah yang hak dari Rabbmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus." (QS. Al Hajj : 54)

3. Pelajari Tauhid. Kenali Tauhid. Kenali Wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah ﷺ , Pelajari apa yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ kepada kita.

Shiqqid Hasan Khan mengatakan bahwa ilmu yang dimiliki Nabi Ibrahim adalah ilmu yang berkaitan dengan wahyu, tauhid, dan akhirat.

Pelajari ilmu-ilmu tersebut, karena itu adalah kewajiban. Sedangkan ilmu yang lainnya, tidak wajib. Ilmu dunia tidak akan memengaruhi rezeki kita. Ilmu duniawi bukanlah kewajiban kita, dan dia tidak berjalan terhadap rezeki.

4. Ilmu adalah menuju gerbang Hidayah

Pembuka Hidayah bagi seseorang adalah ilmu.

أَوَمَن كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَٰهُ وَجَعَلْنَا لَهُۥ نُورًا يَمْشِى بِهِۦ فِى ٱلنَّاسِ كَمَن مَّثَلُهُۥ فِى ٱلظُّلُمَٰتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِّنْهَا ۚ كَذَٰلِكَ زُيِّنَ لِلْكَٰفِرِينَ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

"Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan." (QS. Al Anam : 122)

Seseorang yang jauh dari ilmu seperti halnya mayat hidup. Maka ilmu adalah gerbang seseorang mendapatkan hidayah dari Allah.

5. Orang yang berilmu, dia akan beramal dengan ilmunya tersebut, sehingga hidupnya akan penuh dengan amalan yang didasarkan atas hidayah dari Allah

Seseorang yang meniti jalan yang lurus, maka dia akan menjadi orang yang shiddiq.

Imam Ibnul Qayyim ketika menafsirkan Surah Al Fatihah ayat 6 berkata:
"Hidayah adalah memahami kebenaran dan mengamalkannya."

6. Sampaikan ilmu kepada orang terdekat di sekitar kita

Zakat pada harta itu dikeluarkan dengan jumlah tertentu. Zakat pada tubuh adalah dengan melaksanakan shakat. Zakat pada ilmu adalah dengan menyampaikannya kepada orang lain.

Orang yang berilmu bukanlah mengatur,. melainkan membimbing seseorang kepada jalan yang lurus.

Nabi Ibrahim 'alayhissalam sebagai anak, dia membimbing orang tuanya, dan itu bukanlah aib. Seorang anak mengajak orang tuanya untuk berbuat baik, dan karena Nabi Ibrahim berilmu, maka anaknya

Orang yang berilmu, ketika mengajak kepada kerabatnya, maka dia akan melakukan beberapa hal berikut:
1. Menunjukkan yang baik
2. Memberitahukan tentang Tauhid
3. Memberitahu teknis ilmu
4. Menyampaikan ilmu tersebut
Semua harus sesuai skala prioritas.

Ketika kita menyampaikan kepada kerabat kita, jangan disampaikan semuanya. Nabi ﷺ ketika mengoreksi kesalahan Hafshah hanya menyebutkan satu kesalahan saja.

وَإِذْ أَسَرَّ ٱلنَّبِىُّ إِلَىٰ بَعْضِ أَزْوَٰجِهِۦ حَدِيثًا فَلَمَّا نَبَّأَتْ بِهِۦ وَأَظْهَرَهُ ٱللَّهُ عَلَيْهِ عَرَّفَ بَعْضَهُۥ وَأَعْرَضَ عَنۢ بَعْضٍ ۖ فَلَمَّا نَبَّأَهَا بِهِۦ قَالَتْ مَنْ أَنۢبَأَكَ هَٰذَا ۖ قَالَ نَبَّأَنِىَ ٱلْعَلِيمُ ٱلْخَبِيرُ

"Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang isterinya (Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (pembicaraan Hafsah dan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafsah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah) lalu (Hafsah) bertanya: “Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?” Nabi menjawab: “Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Tahrim : 3)

Mayoritas konflik yang terjadi biasanya karena ada perbedaan karakter. 

7. Menyampaikan harus sesuai dengan prinsip skala prioritas

Jangan membahas semua masalah, maka sebaiknya dipilih sesuai dengan prioritas.

Imam Sa'di mengambil pelajaran dan beliau berkata:
"Ilmu yang dimiliki oleh Nabi Ibrahim melahirkan akhlaq yang mulia yaitu kelembutan dan kesantunan."

Apapun yang dilakukan oleh Ayahmu, dia tetaplah Ayahmu. Sebaliknya, apapun yang dilakukan oleh Anakmu, dia tetaplah Anakmu. Hubungan antara orang tua dengan anak tidak akan pernah lepas, bahkan sampai Hari Kiamat.

Dari Bara' bin Azib radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
"Sesungguhnya hamba yang beriman ketika hendak meninggalkan dunia dan menuju akhirat, turunlah malaikat dari langit, wajahnya putih, wajahnya seperti matahari. Mereka membawa kafan dari surga dan hanuth (minyak wangi) dari surga. Merekapun duduk di sekitar mayit sejauh mata memandang. Kemudian datanglah malaikat maut ‘alaihis salam. Dia duduk di samping kepalanya, dan mengatakan, ‘Wahai jiwa yang baik, keluarlah menuju ampunan Allah dan ridha-Nya.’ Keluarlah ruh itu dari jasad, sebagaimana tetesan air keluar dari mulut ceret, dan langsung dipegang malaikat maut. Para malaikat yang lain tidak meninggalkan walaupun sekejap, dan mereka langsung mengambilnya dari malaikat maut.

Mereka memberinya kafan dan hanuth itu. Keluarlah ruh itu dengan sangat wangi seperti bau parfum paling wangi yang pernah ada di bumi. Para malaikat inipun naik membawa ruh itu. Setiap kali ketemu dengan malaikat yang lain, mereka akan bertanya: ‘Ruh siapakah yang baik ini?’ Mereka menjawab, ‘Fulan bin Fulan’ – dengan nama terbaik yang pernah dia gunakan di dunia."

Sementara hamba yang kafir, ketika hendak meninggalkan dunia dan menuju akhirat, turunlah para malaikat dari langit, yang bengis dan keras, wajahnya hitam, mereka membawa Masuh (kain yang tidak nyaman digunakan) dari neraka. Mereka duduk di sekitar mayit sejauh mata memandang. Kemudian datanglah malaikat maut, dan duduk di samping kepalanya. Dia memanggil, ‘Wahai jiwa yang busuk, keluarlah menuju murka Allah.’

Ruhnya ketakutan, dan terpencar ke suluruh ujung tubuhnya. Lalu malaikat maut menariknya, sebagaimana gancu bercabang banyak ditarik dari wol yang basah. Sehingga membuat putus pembuluh darah dan ruang tulang. Dan langsung dipegang malaikat maut. Para malaikat yang lain tidak meninggalkan walaupun sekejap, dan mereka langsung mengambilnya dari malaikat maut. Kemudian diberi masuh yang mereka bawa. Ruh ini keluar dengan membawa bau yang sangat busuk, seperti busuknya bau bangkai yang pernah ada di muka bumi. Merekapun naik membawa ruh ini. Setiap kali mereka melewati malaikat, malaikat itupun bertanya, ‘Ruh siapah yang buruk ini?’ Mereka menjawab, ‘Fulan bin Fulan.’ – dengan nama yang paling buruk yang pernah dia gunakan ketika di dunia" (HR. Ahmad 18543 dan Abu Daud 4753)

Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, ia berkata,
"Sungguh aku telah melayani Rasulullah ﷺ selama sepuluh tahun. Beliau tidak pernah berkata kepadaku sekalipun, “Aah”, tidak pernah berkomentar tentang apa yang aku lakukan, “Mengapa kamu lakukan (ini)”, dan tentang apa yang tidak aku lakukan, “Mengapa kamu tidak melakukan demikian (saja)” (Muttafaqun ‘alaih)

8. Seseorang yang tidak taat kepada Allah dan RasulNya, berarti dia taat kepada setan. Orang yang taat kepada setan, maka dia beribadah kepada setan.

Kalau ibadah kepada setan, berarti dia berteman dan penolong setan.

Inilah pelajaran yang bisa diambil oleh kita dari Nabi Ibrahim 'alayhissalam, sosok yang shiddiq sehingga kita juga berusaha untuk menjadi shiddiq dan menjadi hamba yang mulia di sisi Allah.

No comments:

Post a Comment