Janganlah Menyakiti Suami – Nasehat Untuk Muslimah.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia kecuali berkata
hurun `in (bidadari-bidadari surga) yang menjadi istri si suami di
surga: “Jangan engkau menyakitinya… (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah no.
204. Berkata penulis Bahjatun Nazhirin: Sanad hadits ini shahih, 1/372)
Kekufuran Istri Berbuah Petaka
Merupakan satu anugerah dari Allah, ketika seorang wanita
dipertemukan dengan pasangan hidupnya dalam satu jalinan kasih yang
suci. Hal ini sebagai satu tanda dari tanda-tanda kekuasaan Sang Khaliq.
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجاً
لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ
فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk
kalian pasangan hidup dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung
dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Ar-Rum: 21)
Apalagi bila pendamping hidup itu seorang yang shalih, yang akan
memuliakan istrinya bila bersemi cinta di hatinya, namun kalau toh cinta
itu tak kunjung datang maka ia tak akan menghinakan istrinya.
Merajut dan menjalin tali pernikahan agar selalu berjalan baik tidak
bisa dikatakan mudah bak membalik kedua telapak tangan, karena
dibutuhkan ilmu dan ketakwaan untuk menjalaninya. Seorang suami butuh
bekal ilmu agar ia tahu bagaimana menahkodai rumah tangganya. Istripun
demikian, ia harus tahu bagaimana menjadi seorang istri yang baik dan
bagaimana kedudukan seorang suami dalam syariat ini. Masing-masing punya
hak dan kewajiban yang harus ditunaikan agar jalinan itu tidak goncang
ataupun terputus.
Syariat menetapkan seorang suami memiliki hak yang sangat besar
terhadap istrinya, sampai-sampai bila diperkenankan oleh Allah,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan memerintahkan seorang istri
sujud kepada suaminya.
Abdullah ibnu Abi Aufa bertutur: Tatkala Mu’adz datang ke negeri
Yaman atau Syam, ia melihat orang-orang Nashrani bersujud kepada para
panglima dan petinggi gereja mereka. Maka ia memandang dan memastikan
dalam hatinya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah yang
paling berhak untuk diagungkan seperti itu. Ketika ia kembali ke hadapan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata: “Ya Rasulullah,
aku melihat orang-orang Nashrani bersujud kepada para panglima dan
petinggi gereja mereka, maka aku memandang dan memastikan dalam hatiku
bahwa engkaulah yang paling berhak untuk diagungkan seperti itu.”
Mendengar ucapan Mu’adz ini, bersabdalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam:
لَوْ كُنْتُ آمُرُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ
َأنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا وَلاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ الله عَزَّ
وَجَلَّ عَلَيْهَا كُلَّهُ حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا عَلَيْهَا
كُلَّهَا حَتَّى لَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَىظَهْرِ قَتَبٍ
لأَعْطَتْهُ إِيَّاهُ
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada
orang lain (sesama makhluk) niscaya aku perintahkan seorang istri untuk
sujud kepada suaminya. Dan tidaklah seorang istri dapat menunaikan
seluruh hak Allah Azza wa Jalla terhadapnya hingga ia menunaikan seluruh
hak suaminya terhadapnya. Sampai-sampai jika suaminya meminta dirinya
(mengajaknya bersenggama) sementara ia sedang berada di atas pelana
(yang dipasang di atas unta) maka ia harus memberikannya (tidak boleh
menolak).” (HR. Ahmad 4/381. Dihasankan Asy-Syaikh Albani dalam
Ash-Shahihul Jami’ no. 5295 dan Irwa Al-Ghalil no. 1998)
Satu dari sekian hak suami terhadap istrinya adalah disyukuri akan kebaikan yang diperbuatnya dan tidak dilupakan keutamaannya.
Namun disayangkan, di kalangan para istri banyak yang melupakan atau
tidak tahu hak yang satu ini, hingga kita dapatkan mereka sering
mengeluhkan suaminya, melupakan kebaikan yang telah diberikan dan tidak
ingat akan keutamaannya. Yang lebih disayangkan, ucapan dan penilaian
miring terhadap suami ini kadang menjadi bahan obrolan di antara para
wanita dan menjadi bahan keluhan sesama mereka. Padahal perbuatan
seperti ini menghadapkan si istri kepada kemurkaan Allah dan adzab yang
pedih.
Perbuatan tidak tahu syukur ini merupakan satu sebab wanita menjadi
mayoritas penghuni neraka, sebagaimana diberitakan Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam seselesainya beliau dari Shalat Kusuf (Shalat Gerhana):
أُرِيْتُ النَّارُ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ.
قِيْلَ: أَ يَكْفُرْنَ بِاللهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ
وَيَكْفُرْنَ الإِحْسَانَ, لَوْ أَََحْسَنْتَ إِلىَ إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ
ثُمَ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
“Diperlihatkan neraka kepadaku. Ternyata mayoritas penghuninya adalah
para wanita yang kufur .” Ada yang bertanya kepada beliau: “Apakah para
wanita itu kufur kepada Allah?” Beliau menjawab: “(Tidak, melainkan)
mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami). Seandainya
engkau berbuat baik kepada salah seorang dari mereka satu masa, kemudian
suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di
hatinya) niscaya ia akan berkata: Aku sama sekali belum pernah melihat
kebaikan darimu.” (HR. Al-Bukhari no. 29 dan Muslim no. 907)
Al-Qadhi Ibnul ‘Arabi rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini
disebutkan secara khusus dosa kufur/ingkar terhadap suami di antara
sekian dosa lainnya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah
menyatakan:
Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud
kepada orang lain (sesama makluk) niscaya aku perintahkan seorang istri
untuk sujud kepada suaminya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
menggandengkan hak suami terhadap istri dengan hak Allah, maka bila
seorang istri mengkufuri/mengingkari hak suaminya, sementara hak suami
terhadapnya telah mencapai puncak yang sedemikian besar, hal itu sebagai
bukti istri tersebut meremehkan hak Allah. Karena itulah diberikan
istilah kufur terhadap perbuatannya akan tetapi kufurnya tidak sampai
mengeluarkan dari agama.” (Fathul Bari, 1/106)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengisahkan:
قُمْتُ عَلَى بَابِ الْجَنَّةِ فَكَانَ عَامَّةُ مَنْ دَخَلَهَا
الْمَسَاكِيْنُ وَأَصْحَابُ الْجَدِّ مَحْبُوْسُوْنَ غَيْرَ أَنَّ
أَصْحَابَ النَّارِ قَدْ أُمِرَ بِهِمْ إِلَى النَّارِ فَإِذَا عَامَّةُ
مَنْ دَخَلَهَا النِّسَاءُ
“Aku berdiri di depan pintu surga, ternyata kebanyakan yang masuk ke
dalamnya adalah orang-orang miskin, sementara orang kaya lagi terpandang
masih tertahan (untuk dihisab) namun penghuni neraka telah diperintah
untuk masuk ke dalam neraka , ternyata mayoritas yang masuk ke dalam
neraka adalah kaum wanita.” (HR. Al-Bukhari no. 5196 dan Muslim no.
2736)
Pada hari Idul Adha atau Idul Fithri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam keluar menuju lapangan untuk melaksanakan shalat. Setelahnya
beliau berkhutbah dan ketika melewati para wanita beliau bersabda:
“Wahai sekalian wanita, bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar
(meminta ampun) karena sungguh diperlihatkan kepadaku mayoritas kalian
adalah penghuni neraka.” Berkata salah seorang wanita yang cerdas: “Apa
sebabnya kami menjadi mayoritas penghuni neraka, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab: “Kalian banyak melaknat dan mengkufuri kebaikan suami.
Aku belum pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya namun dapat
menundukkan lelaki yang memiliki akal yang sempurna daripada kalian.”
Wanita itu bertanya lagi: “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud dengan
kurang akal dan kurang agama?”. “Adapun kurangnya akal wanita
ditunjukkan dengan persaksian dua orang wanita sama dengan persaksian
seorang lelaki. Sementara kurangnya agama wanita ditunjukkan dengan ia
tidak mengerjakan shalat dan meninggalkan puasa di bulan Ramadhan selama
beberapa malam (yakni saat ditimpa haidh).” (HR. Al-Bukhari no. 304 dan
Muslim no. 79)
Karena mayoritas kaum wanita adalah ahlun nar (penghuni neraka) maka
mereka menjadi jumlah yang minoritas dari ahlul jannah. Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam nyatakan hal ini dalam sabdanya:
إِنَّ أَقَلُّ سَاكِنِي الْجَنَّة النِّسَاءُ
“Minoritas penghuni surga adalah kaum wanita.” (HR. Muslim no. 2738)
Bila demikian adanya tidak pantas bagi seorang wanita yang mencari
keselamatan dari adzab untuk menyelisihi suaminya dengan mengkufuri
kenikmatan dan kebaikan yang telah banyak ia curahkan ataupun banyak
mengeluh hanya karena sebab sepele yang tak sebanding dengan apa yang
telah ia persembahkan untuk anak dan istrinya. Sepatutnya bila seorang
istri melihat dari suaminya sesuatu yang tidak ia sukai atau tidak
pantas dilakukan maka ia jangan mengkufuri dan melupakan seluruh
kebaikannya. Sungguh, bila seorang istri tidak mau bersyukur kepada
suami, sementara suaminya adalah orang yang paling banyak dan paling
sering berbuat kebaikan kepadanya, maka ia pun tidak akan pandai
bersyukur kepada Allah ta`ala, Dzat yang terus mencurahkan kenikmatan
dan menetapkan sebab-sebab tersampaikannya kenikmatan pada setiap hamba.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ لاَ يَشْكُرِ النَّاسَ لاَ يَشْكُرِ اللهَ
“Siapa yang tidak bersyukur (berterima kasih) kepada manusia maka ia
tidak akan bersyukur kepada Allah.” (HR. Abu Dawud no. 4177 dan
At-Tirmidzi no. 2020, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil di atas syarat
Muslim, dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/338)
Al-Khaththabi berkata: Hadits ini dapat dipahami dari dua sisi.
Pertama: orang yang tabiat dan kebiasaannya suka mengingkari
kenikmatan yang diberikan kepadanya dan enggan untuk mensyukuri kebaikan
mereka maka menjadi kebiasaannya pula mengkufuri nikmat Allah ta`ala
dan tidak mau bersyukur kepada-Nya.
Sisi kedua: Allah tidak menerima rasa syukur seorang hamba atas
kebaikan yang Dia curahkan apabila hamba tersebut tidak mau bersyukur
(berterima kasih) terhadap kebaikan manusia dan mengingkari kebaikan
mereka, karena berkaitannya dua perkara ini.” (‘Aunul Ma’bud, 13/114)
Adapun Al-Qadhi mengatakan tentang hadits ini: “(Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam menyatakan demikian) bisa jadi karena mensyukuri Allah
ta`ala hanya bisa sempurna dengan patuh kepada-Nya dan melaksanakan
perintah-Nya. Sementara di antara perkara yang Dia perintahkan adalah
berterima kasih kepada manusia yang menjadi perantara tersampaikannya
nikmat-nikmat Allah kepadanya. Maka orang yang tidak patuh kepada Allah
dalam hal ini, ia tidak menunaikan kesyukuran atas kenikmatan-Nya. Atau
bisa pula maknanya, orang yang tidak berterima kasih kepada manusia yang
telah memberikan dan menyampaikan kenikmatan kepadanya, padahal ia tahu
sifat manusia itu sangat senang mendapatkan pujian, ia menyakiti si
pemberi kebaikan dengan berpaling dan mengingkari apa yang telah
diberikan, maka orang seperti ini akan lebih berani meremehkan sikap
syukur kepada Allah, yang sebenarnya sama saja bagi-Nya antara
kesyukuran dan kekufuran .” (Tuhfatul Ahwadzi, 6/74).
Sepantasnya bagi seorang istri yang mencari keselamatan dari adzab
Allah untuk mencurahkan seluruh kemampuannya dalam menunaikan hak-hak
suami, karena suaminya adalah jembatan untuk meraih kenikmatan surga
atau malah sebaliknya membawa dirinya ke jurang neraka. Al-Hushain bin
Mihshan radliallahu anhu menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke
tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena satu keperluan dan
setelah selesai dari keperluan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bertanya kepadanya:
أَ ذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟
قَالَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجزْتُ عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أينَ
أَنْتِ مِنْهُ فَإنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنارُكِ
“Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab: “Sudah.”
“Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?” tanya Rasulullah lagi. Ia
menjawab: “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang
aku tidak mampu.” Rasulullah bersabda: “Lihatlah di mana keberadaanmu
saat bergaul dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan nerakamu.”
(HR. Ahmad 4/341. Berkata penulis Jami’ Ahkamin Nisa: hadits ini hasan,
3/430)
Saudariku, janganlah engkau sakiti suamimu dengan tidak mensyukuri
apa yang telah diberikannya. Ingatlah, suamimu hanya sementara waktu
menemanimu di dunia, kemudian dia akan berpisah denganmu dan berkumpul
dengan para bidadari surga yang murka kala engkau menyakitinya. Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan hal ini dalam sabdanya:
لاَ تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ قَالَتْ
زَوْجَتُهَا مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ: لاَ تُؤْذِيهِ قَاتَلَكِ اللهُ,
فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكِ دَخِيْلٌ, يُوْشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا
“Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia kecuali berkata
hurun `in (bidadari-bidadari surga) yang menjadi istri si suami di
surga: “Jangan engkau menyakitinya qatalakillah , karena dia di sisimu
hanyalah sebagai tamu dan sekedar singgah, hampir-hampir dia akan
berpisah denganmu untuk bertemu dengan kami.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu
Majah no. 204. Berkata penulis Bahjatun Nazhirin: Sanad hadits ini
shahih, 1/372)
Wallahu ta`ala a`lam bishawwab.
No comments:
Post a Comment