Sunday, 26 January 2025

Kajian Ahad: Jalan Terjal Menuju Surga // Ustadz Abdullah Taslim hafizhahullah

Kajian Ahad
Jalan Terjal Menuju Surga
Oleh: Ustadz Abdullah Taslim hafizhahullah
Masjid Nurul Amal, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 
Ahad, 26 Rajab 1446 / 26 Jan 2025

Allah sangat luas rahmatNya, sangat luas kasih sayangnya.

Hikmah menjadikan kemuliaan yang ada di sisiNya didapatkan dengan ujian, bukan untuk mempersulit, tapi agar Allah memilih di antara hamba-hambaNya siapa yang paling pantas mendapatkan surgaNya Allah. Allah Maha Memiliki Karunia yang Agung.

Kalau tidak ada ujian, maka tidak akan bisa membedakan siapa yang jujur dan siapa yang mengikuti hawa nafsunya.

"Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata." (QS. Al Hajj : 11)

Maksud dari harf atau berada di tepi dari ayat di atas adalah dia tidak sepenuhnya masuk ke dalam Islam, melainkan melihat keadaan terlebih dahulu. Yang seperti ini akan terlihat ketika Allah memberikan ujian.

Allah memberikan ujian bukan untuk membinasakan hambaNya, melainkan untuk membersihkan dosa-dosa, ditinggikan derajat, ditambahkan sifat sabar di mana sifat ini adalah sifatnya penghuni surga.

"Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta." (QS. Al Ankabut : 1-3)

Dari Mush’ab bin Sa’id -seorang tabi’in- dari ayahnya, ia berkata,
“Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
“Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh), maka semakin berat pula ujiannya. Apabila agamanya lemah, maka ia akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa.” (HR. Tirmidzi no. 2398, Ibnu Majah no. 4024, Ad Darimi no. 2783, Ahmad (1/185)

Seandainya kita dibuatkan hidup tanpa ujian, bisa jadi kita akan lalai. Seseorang yang hidupnya hanya santai tanpa cobaan, dia tidak akan bersungguh-sungguh, dia akan lupa untuk mencapai tujuan hidupnya.

Kenapa Allah berikan cobaan yang besar bagi hamba yang memiliki keimanan yang besar?
Karena Allah memiliki hak ubudiyyah, hak penghambaan atas hambaNya bukan hanya beribadah dalam keadaan senang saja, tapi juga beribadah dalam keadaan susah.

Rasulullah ﷺ tidak pernah marah dalam urusan pribadi, tetapi beliau marah ketika seseorang melanggar batasan syariat, karena syariat itu adalah hak Allah.

Akhirat dengan dunia pasti berbeda. Dunia memang tempatnya ujian. Orang yang zuhud akan tahu bahwasanya dunia hanya sementara dan kenikmatannya tidak murni. Dia akan mengusahakan agar mendapatkan nikmat yang kekal di surga.

Dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Rasulullah ﷺ memegang kedua pundakku, lalu bersabda, ‘Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing atau seorang musafir’ (dan persiapkan dirimu termasuk orang yang akan menjadi penghuni kubur (pasti akan mati).” (HR. Bukhari No. 6416, Tirmidzi, No. 2333, Ibnu Majah No. 4114, Ahmad, II/24 dan 41)

Dan Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu pernah mengatakan, “Jika engkau berada di sore hari, janganlah menunggu pagi hari. Dan jika engkau berada di pagi hari, janganlah menunggu sore hari. Pergunakanlah waktu sehatmu sebelum sakitmu dan hidupmu sebelum matimu.”

Hasan al-Bashri pun menulis surat kepada Umar bin Abdul Aziz, isi surat tersebut menjelaskan tentang hakikat dunia.
"Amma ba’du. Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya dunia adalah rumah persinggahan dan perpindahan bukan rumah tinggal selamanya.

Adam diturunkan ke dunia dari surga sebagai hukuman atasnya, maka berhati-hatilah. Sesungguhnya orang yang berhasrat kepada dunia akan meninggalkannya, orang yang kaya di dunia adalah orang yang miskin (dibanding akhirat), penduduk dunia yang berbahagia adalah orang yang tidak berlebih-lebihan di dalamnya. Jika orang yang berakal lagi cerdik mencermatinya, maka dia melihatnya menghinakan orang yang memuliakannya, mencerai-beraikan orang yang mengumpulkannya. Dunia layaknya racun, siapa yang tidak mengetahuinya akan memakannya, siapa yang tidak mengetahuinya akan berambisi kepadanya, padahal, demi Allah itulah letak kebinasaannya.

Wahai Amirul Mukminin, jadilah seperti orang yang tengah mengobati lukanya, dia menahan pedih sesaat karena dia tidak ingin memikul penderitaan panjang. Bersabar di atas penderitaan dunia lebih ringan daripada memikul ujiannya. Orang yang cerdas adalah orang yang berhati-hati terhadap godaan dunia. Dunia seperti pengantin, mata-mata melihat kepadanya, hati terjerat dengannya, pada dia, demi Dzat yang mengutus Muhammad dengan kebenaran, adalah pembunuh bagi siapa yang menikahinya.

Wahai Amirul Mukminin, berhati-hatilah terhadap perangkap kebinasaannya, waspadailah keburukannya. Kemakmurannya bersambung dengan kesengsaraan dan penderitaan, kelanggengan membawa kepada kebinasaan dan kefanaan. Ketahuilah wahai Amirul Mukminin, bahwa angan-angannya palsu, harapannya batil, kejernihannya keruh, kehidupannya penderitaan, orang yang meninggalkannya adalah orang yang dibimbing taufik, dan orang yang berpegang padanya adalah celaka lagi tenggelam. Orang yang cerdik lagi pandai adalah orang yang takut kepada apa yang dijadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menimbulkan rasa takut, mewaspadai apa yang Allah telah peringatkan, berlari meninggalkan rumah fana kepada rumah yang abadi, keyakinan ini akan sangat terasa ketika kematian menjelang.

Dunia wahai Amirul Mukminin, dunia adalah rumah hukuman, siapa yang tidak berakal mengumpulkan untuknya, siapa yang tidak berilmu tentangnya akan terkecoh, sementara orang yang tegas lagi berakal adalah orang yang hidup di dunia seperti orang yang mengobati sakitnya, dia menahan diri dari pahitnya obat karena dia berharap kesembuhan, dia takut kepada buruknya akibat di akhirat.

Dunia wahai Amirul Mukminin, demi Allah hanya mimpi, sedangkan akhirat adalah nyata, di antara keduanya adalah kematian. Para hamba berada dalam mimpi yang melenakan, sesungguhnya aku berkata kepadamu wahai Amirul Mukminin apa yang dikatakan oleh seorang laki-laki bijak, ‘Jika kamu selamat, maka kamu selamat dari huru-hara besar itu. Jika tidak, maka aku tidak mengira dirimu akan selamat'."

Orang yang berpegang teguh dengan sunnah disebut dengan al-ghuroba, atau orang asing. Termasuk asingnya mereka adalah perhatian mereka dalam urusan dunia berbeda dengan yang lain.

Rasulullah ﷺ bersabda:
"Apalah artinya dunia ini bagiku?! Apa urusanku dengan dunia?! Sesungguhnya perumpamaanku dan perumpamaan dunia ini ialah seperti pengendara yang berteduh di bawah pohon, ia istirahat (sesaat) kemudian meninggalkannya." (HR. Ahmad I/391, 441, Tirmidzi No. 2377, Ibnu Majah No. 4109 dan al-Hakim IV/310)

Sekali lagi, Allah memberikan ujian kepada kita untuk memberikan maslahat yang besar.

Abdullah bin Mas’ud berkata: “Iman itu terbagi menjadi dua bagian; sebagiannya (adalah) sabar dan sebagian (lainnya adalah) syukur” (Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab Uddatush-Shhaabiriin)

Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.” (HR. Muslim No. 2999)

Allah ingin menjadikan kebahagiaan bagi para hamba-hambaNya bukan karena harta semata, melainkan Allah ingin hamba-hambaNya bahagia dengan ketaatan, dengan iman. Urusan dunia hanya akan menjadi sebab penderitaan. Orang yang mencintai dunia secara berlebihan, pasti akan menderita hidupnya.

Kecintaan dunia yang berlebihan, tidak akan didapatkan melainkan 3 hal, yaitu:
1. Kekalutan pikiran yang terus menyertainya.
2. Payah fisiknya secara terus menerus
3. Penyesalan yang tidak akan pernah habis

Allah ingin menjaga orang-orang dari kerugian yang dihiasi keindahan oleh setan, padahal ini adalah keindahan yang semu.

Rasulullah ﷺ bersabda:
"Dan tidak ada seorang pun yang diberi suatu pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (Muttafaqun ‘Alayh)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu, ia berkata bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:
"Surga itu diliputi perkara-perkara yang dibenci (oleh jiwa) dan neraka itu diliputi perkara-perkara yang disukai syahwat.” (HR. Muslim)

Abu Hurairah raḍiyallahu 'anhu meriwayatkan, Rasulullah ﷺ bersabda,
"Setelah Allah menciptakan surga dan neraka, Dia mengutus Jibril 'alaihissalam ke surga seraya berkata, 'Lihatlah surga dan semua yang Aku siapkan bagi penghuninya di sana.' Jibril pun melihatnya lalu kembali. Dia berkata, 'Demi keagunganMu, tidak ada seorang pun yang mendengarnya kecuali akan memasukinya.' Kemudian Allah memerintahkan sehingga surga diliputi oleh perkara-perkara yang tidak disukai, lalu berfirman, 'Pergilah ke sana lalu lihatlah, dan lihatlah semua yang Aku siapkan bagi penghuninya di sana.' Maka Jibril melihatnya, ternyata ia telah diliputi oleh perkara-perkara yang tidak disukai, sehingga dia berkata, 'Demi keagunganMu, sungguh aku khawatir tidak akan ada seorang pun yang memasukinya.' Allah berfirman, 'Pergilah dan lihatlah neraka serta semua yang Aku siapkan bagi penghuninya di sana. Maka Jibril melihatnya. Ternyata ia saling susun satu sama lain, sehingga ia kembali dan berkata, 'Demi keagunganMu, ia tidak akan dimasuki oleh siapa pun.' Kemudian Allah memerintahkan sehingga ia diliputi dengan berbagai syahwat. Lalu berfirman, 'Kembalilah lalu lihat lagi.' Maka Jibril melihatnya, ternyata ia telah diliputi oleh berbagai syahwat, sehingga dia kembali dan berkata, 'Demi keagunganMu, sungguh aku khawatir tidak akan ada seorang pun yang selamat darinya, melainkan akan masuk ke dalamnya'." (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan An-Nasa'i)

Kita harus menyikapi hadits dengan benar. Kita meminta pertolongan kepada Allah dan bersandar hanya kepada Allah agar dimudahkan segala sesuatu.

Dalam beragama, kita harus menundukkan hawa nafsu.

"Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia. maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)." (QS. An Nazi'aat : 37-41)

Islam diturunkan untuk meredam hawa nafsu. Setan terus menggoda, dan alat setan untuk merusak manusia adalah hawa nafsu itu sendiri.

Nafsu adalah penghalang utama bagi manusia untuk meraih ridho Allah. Ketika kita tidak berusaha untuk melawan hawa nafsu, maka jangan bermimpi untuk masuk surga.

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata:
“Hawa nafsu adalah kecondongan jiwa kepada sesuatu yang selaras dengan keinginannya” (Asbabut Takhallaush minal hawa, Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah, hal. 3).

"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Alquran kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur. Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka." (QS. Al Insaan : 23-24)

Cobaan itu dirasakan hanya di awal saja.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
“Di dunia itu terdapat surga. Barangsiapa yang tidak memasukinya, maka dia tidak akan memperoleh surga akhirat.”

Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa surga dunia adalah mencintai Allah, mengenal Allah, senantiasa mengingatNya, merasa tenang dan thuma’ninah ketika bermunajat padaNya, menjadikan kecintaan hakiki hanya untukNya, memiliki rasa takut dan dibarengi rasa harap kepadaNya, senantiasa bertawakkal padaNya dan menyerahkan segala urusan hanya padaNya.

Inilah surga dunia yang dirindukan oleh para pecinta surga akhirat.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim No. 2392)

No comments:

Post a Comment