Kajian I'tikaf Malam 27
Pentakwil Sifat Allah
Oleh: Ustadz Syafiq Al Khatieb hafizhahullah
Masjid Nurul Iman, Blok M Square, Jakarta Selatan
Rabu, 27 Ramadhan 1446 / 26 Maret 2025
Para penolak sifat Allah, baik yang menolak sebagian dan menetapkan sebagian, atau mereka menolak seluruhnya, memiliki syubhat yang sama. Mereka menggunakan dalil akal.
Dari kalangan Asy'syairoh mereka membagi 2 sifat-sifat Allah dalam Alquran. Mereka menempuh metode Takwil dan Tafwidh. Sikap mereka dalam menyikapi sifat-sifat Allah di dalam Alquran, mereka menempuh 2 metode di atas secara umum.
Sifat Istiwa yang banyak disebutkan Allah di dalam Alquran mereka takwil menjadi Istawla, yang artinya menguasai. Mereka mengklaim bahwa sifat-sifat yang disebut di dalam ayat-ayat adalah bentuk menyamakan Allah dengan makhluk.
Takwil bukan hasil dari penelusuran atau penelitian. Itu hanya jalan keluar bagi mereka.
Apa yang bertentangan dengan keyakinan yang sudah mereka buat, maka mereka mencari dalil yang cocok. Jika mereka menemukan dalil yang tidak cocok dengan akal mereka, maka mereka menempuh jalan Takwil.
Di antara penyimpangan dalam Aqidah itu karena mereka mentakwil sesuka hati.
Bantahan secara umum kepada penolak sifat Allah dinukil oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah di dalam kitabnya berjudul Fawaid Al Mursala.
Abdullah Ibnu Taimiyyah adalah saudara dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Abdullah ketika berdebat dengan
"Apakah Nabi ﷺ tahu bahwasanya makna dari Istiwa berarti Istawla? Kalau kalian bilang Nabi ﷺ tidak tahu, maka kalian telah melecehkan syariat, kalian telah kafir. Kalau Nabi ﷺ tahu, apakah Nabi ﷺ mampu menjelaskan dengan penjelasan yang jelas? Kalau Nabi ﷺ bisa menjelaskannya, apakah Nabi ﷺ menginginkan kebaikan atau kesesatan? Kalau Nabi ﷺ menginginkan kesesatan bagi umatnya, maka sesungguhnya kalianlah yang sesat. Kalau Nabi ﷺ menginginkan kebaikan bagi umatnya, maka seharusnya Nabi ﷺ telah menjelaskannya."
Bantahan secara rinci dari 4 sudut pandang dalam hal Takwil. Mereka membuat narasi bahwasanya para Salaf pun mentakwil. Mereka membuat kerancuan di tengah umat, seolah-olah itu adalah hal yang benar.
1. Ditinjau dari Manhaj/metode Takwil itu sendiri
Mereka mengatakan bahwa nash itu adalah zhahirnya saja, sehingga boleh ditakwil. Ini adalah tuduhan yang fatal.
Yang pertama kali membuat Takwil adalah kaum Mu'tazilah. Syubhat-syubhat mereka dibantah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, sehingga mereka membenci beliau dan ingin menjatuhkan beliau.
Mereka mengatakan bahwasanya ayat-ayat Alquran adalah mutasyabbih, yaitu tidak jelas maknanya. Apakah ini layak disematkan kepada Allah?
Jika mereka mengklaim tanpa dalil, maka kita bisa tolak begitu saja, tidak perlu dihiraukan.
Kalau seandainya sifat-sifat Allah yang disebutkan di dalam Alquran adalah mutasyabbih, maka Alquran adalah kitab kesesatan, bukanlah kitab Hidayah, karena isi Alquran tidak jelas isinya.
Ketika mentakwil, mereka menyebutkan bahwasanya makna Istiwa berarti menyamakan Allah dengan makhluk, maka mereka mentakwil tanpa dalil. Mereka mengubah makna Alquran sesuka hati. Padahal mereka melarikan diri dari tasybih, yaitu menyerupakan sifat Allah. Padahal itu membuat mereka terjatuh dalam Tasybih dua kali.
"Tidak mungkin mereka mentakwil sifat Allah kecuali mereka menyerupakan Allah dengan makhluk terlebih dahulu."
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:
“Allah tertawa kepada dua orang yang salah satunya membunuh yang lain, sedangkan kedua-duanya (akhirnya) masuk Surga. Orang yang satu berperang di jalan Allah, lantas ia terbunuh (oleh orang kedua). Kemudian Allah menerima tobat si pembunuh (karena masuk Islam). Lalu si pembunuh tadi akhirnya juga mati syahid (di jalan Allah)” (HR. Al-Bukhari No. 2614, Muslim No. 3504, An-Nasa’i No. 3115, Ahmad No.9597)
Tidak ada jalan lain untuk keluar dari sifat tasybih bagi mereka kecuali dengan Takwil. Hasil takwilnya juga tidak keluar dari Tasybih.
Mereka mentasybih Allah dengan benda mati, atau menyerupakan Allah dengan sesuatu yang tidak ada. Apa yang masuk akal, mereka terima. Apa yang tidak masuk akal, mereka tolak.
Sifat qudroh, ilmu, dan iradat tidak mungkin dimiliki kecuali oleh sesuatu yang hidup.
2. Ditinjau dari Dzatnya
Ketika mereka mentakwil sifat Allah, maka mereka pun juga mentasybih. Tidak ada jalan keluar bagi mereka.
Ketika mereka menempuh metode Takwil, maka itu bertentangan dengan sifat Alquran yang disebutkan di dalam banyak ayat, seakan-akan Alquran adalah kitab teka-teki. Mereka menghilangkan sifat-sifat Alquran.
Ketika menempuh metode Takwil, mereka melazimkan metode yang sangat buruk, seolah-olah ketika Allah memuji diriNya, justru malah mencela diriNya.
Mereka mengklaim bahwasanya metode Takwil adalah sesuatu yang darurat agar mereka bisa keluar dari sifat tasybih.
3. Ditinjau dari hasilnya
- Metode Takwil akan membuka pintu kesesatan dan penyimpangan yang begitu lebar. Tidaklah ada peluang bagi kaum zindiq dan munafiq kecuali mereka menempuhnya dengan metode Takwil.
Sifat Allah yang begitu banyaknya ditakwil oleh mereka.
- Metode Takwil melazimkan buruk sangka kepada Allah. Ketika Alquran disifati sebagai pembeda yang haq dan bathil, cahaya, petunjuk, tapi hakikatnya banyak teka-teki bahkan berpotensi memiliki penyimpangan karena Takwil mereka.
Konsekuensi dari metode Takwil yaitu akan hilang kepercayaan orang kepada nash Alquran dan Hadits. "Bisa jadi maknanya bukan seperti ini", karena tidak sesuai zhahirnya.
Mereka yang mentakwil terhalangi dari mentaddaburi firman Allah. Padahal mentaddaburi Alquran adalah nikmat yang sangat besar bagi kaum Muslimin, karena kita bisa mengenal Allah dengan baik. Sangat penting untuk kita pelajari.
4. Ditinjau dari kelazimannya
- Ketika ayat-ayat harus ditakwil, melazimkan orang-orang lebih baik tanpa Alquran, karena Allah menurunkan ayat yang tidak sesuai dengan maknanya tanpa Allah dan RasulNya menjelaskannya.
- Metode Takwil ini melazimkan bahwa para Salafush-shalih adalah orang-orang yang khianat karena tidak mengajarkan kebenaran. Padahal tidaklah agama Islam ini sampai kepada kita melainkan karena dakwah Nabi ﷺ dan para Sahabatnya radhiyallahu 'anhuma 'ajmain.
No comments:
Post a Comment