Aku dibesarkan dari keluarga yang berada, apa yang ku mau selalu
terpenuhi. Kehidupan masa kecilku sangatlah mewah. Aku diberikan
fasilitas-fasilitas yang memadai seperti kamar ber-AC, mobil, TV
berlayar datar, handphone terbaru, laptop, dan tentu saja uang jajanku
melebihi uang jajan teman-temanku.
Keadaan menyenangkan ini berawal sejak aku masih duduk di bangku
Sekolah Dasar sampai aku lulus sekolah tingkat akhir. Setelahnya aku tak
lagi merasakan kemewahan yang lama kukecap, tepatnya setelah kepergian
Ayahku untuk selamanya.
Aku merasa hancur, kondisi ekonomi keluargaku menurun drastis, bahkan
bisa dikatakan kami jatuh ke dalam lubang kemiskinan meski makan
sehari-hari masih tercukupi. Ah, apa enaknya makan tercukupi tapi aku
tak bisa merasakan fasilitas-fasilitas seperti dulu lagi? Aku tak bisa
menerima semua ini.
Sampai pada akhirnya aku bertemu dengan teman lamaku semasa sekolah,
namanya Roy. Ia mengajakku ke rumahnya untuk sekadar mampir. Wah,
rumahnya mewah sekali, pikirku. Kehidupannya mengingatkan saat Ayahku
masih ada, ia bisa dikatakan kaya raya. Dari sinilah muncul pikiran
bahwa ia harus diakrabi agar teman-temanku yang lain menganggapku tetap
berada. Aku jadi sering main ke rumahnya setiap hari.
Orang tuanya sangat ramah padaku, terlebih Ibunya. Menurutku, Roy
beruntung memiliki orang tua seperti itu. Sejak pertemuan itu, tak
pernah sekalipun aku melihat Roy bersedih, senyum dan tawanya selalu
keluar dari wajahnya. Oh, aku iri sekali dengannya.
Tanpa sepengetahuan Roy, aku coba menjilat Ibunya. Aku mendekati
seolah seperti anaknya sendiri. Jahat memang, ah tapi semua demi
kebutuhan hidupku. Suatu hari saat Ibunya Roy sedang menyiram bunga di
pekarangan rumah, dengan inisiatif busukku, aku bilang “Tante, maukah
aku bantu? Tante istirahat saja, biar aku yang mengerjakan semuanya.
Tante sudah begitu baik padaku.” Beliau bersedia kubantu, dan hatiku
berkata “Langkah pertamaku berhasil.”
Aku beranikan diri untuk berkomunikasi dengan Beliau, aku
menceritakan segala kehidupan masa laluku sampai sekarang. Tujuannya
adalah agar ia iba dan kasihan padaku. Aku tak peduli dikasihani, yang
penting misiku berhasil.
Beliau bertanya padaku, “Kamu kuliah?” Aku bilang “iya Tante, aku kuliah
di salah satu kampus manajemen di Jakarta. Tapi aku selalu terbentur
biaya, belum lagi uang yang harus aku keluarkan untuk tugas kuliah.”
Berhasil! Beliau iba padaku, bahkan aku bisa mendapatkan nomor
teleponnya tanpa sepengetahuan Roy dan Ayahnya. Nampak aku bisa menguras
uangnya hanya dengan memasang muka memelas dan rekayasa kata yang
sebenarnya tak nyata.
Pada awal bulan, aku menelepon Beliau untuk meminta uang, tentu saja
tidak langsung meminta. Aku memelas dahulu sampai Beliau berinisiatif
memberikannya. Aku bilang “Tante, aku harus beli peralatan untuk tugas
kuliah seharga Rp 500.000,- tapi Ibuku sedang tak punya uang. Bagaimana
ya?” Lalu beliau berkata “kamu kasihan sekali ya, keadaanmu susah,
padahal kebutuhanmu banyak. Nanti Tante bantu ya.” Begitu seterusnya,
padahal tidak semua yang kubilang itu benar. Bahkan tidak jarang uang
yang kudapat darinya, aku belikan narkoba dan bersenang-senang dengan
teman-temanku yang lain. Aku bisa mendapatkan berapapun yang kumau
darinya hanya dengan mengiba dan berkata dengan nada memelas.
Setiap tanggal muda, aku selalu mendapatkan uang dari seorang Ibu
yang bukan Ibuku. Aku berhasil menipu. Aku tak peduli dengan balasan
yang nanti kudapatkan, karena aku sangat menikmati ini. Apalagi aku
sudah miskin sekarang, jadi wajar jika aku ingin menikmati kekayaan
selagi ada kesempatan. Aku simpulkan bahwa hanya dengan mengiba saja,
kebutuhanku terpenuhi, meski sementara. Tak kupikirkan hidupku
setelahnya bagaimana.
No comments:
Post a Comment