Wednesday, 21 September 2011

Kenikmatan Tanggal Muda

Aku dibesarkan dari keluarga yang berada, apa yang ku mau selalu terpenuhi. Kehidupan masa kecilku sangatlah mewah. Aku diberikan fasilitas-fasilitas yang memadai seperti kamar ber-AC, mobil, TV berlayar datar, handphone terbaru, laptop, dan tentu saja uang jajanku melebihi uang jajan teman-temanku.

Keadaan menyenangkan ini berawal sejak aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar sampai aku lulus sekolah tingkat akhir. Setelahnya aku tak lagi merasakan kemewahan yang lama kukecap, tepatnya setelah kepergian Ayahku untuk selamanya.

Aku merasa hancur, kondisi ekonomi keluargaku menurun drastis, bahkan bisa dikatakan kami jatuh ke dalam lubang kemiskinan meski makan sehari-hari masih tercukupi. Ah, apa enaknya makan tercukupi tapi aku tak bisa merasakan fasilitas-fasilitas seperti dulu lagi? Aku tak bisa menerima semua ini.

Sampai pada akhirnya aku bertemu dengan teman lamaku semasa sekolah, namanya Roy. Ia mengajakku ke rumahnya untuk sekadar mampir. Wah, rumahnya mewah sekali, pikirku. Kehidupannya mengingatkan saat Ayahku masih ada, ia bisa dikatakan kaya raya. Dari sinilah muncul pikiran bahwa ia harus diakrabi agar teman-temanku yang lain menganggapku tetap berada. Aku jadi sering main ke rumahnya setiap hari.

Orang tuanya sangat ramah padaku, terlebih Ibunya. Menurutku, Roy beruntung memiliki orang tua seperti itu. Sejak pertemuan itu, tak pernah sekalipun aku melihat Roy bersedih, senyum dan tawanya selalu keluar dari wajahnya. Oh, aku iri sekali dengannya.

Tanpa sepengetahuan Roy, aku coba menjilat Ibunya. Aku mendekati seolah seperti anaknya sendiri. Jahat memang, ah tapi semua demi kebutuhan hidupku. Suatu hari saat Ibunya Roy sedang menyiram bunga di pekarangan rumah, dengan inisiatif busukku, aku bilang “Tante, maukah aku bantu? Tante istirahat saja, biar aku yang mengerjakan semuanya. Tante sudah begitu baik padaku.” Beliau bersedia kubantu, dan hatiku berkata “Langkah pertamaku berhasil.”

Aku beranikan diri untuk berkomunikasi dengan Beliau, aku menceritakan segala kehidupan masa laluku sampai sekarang. Tujuannya adalah agar ia iba dan kasihan padaku. Aku tak peduli dikasihani, yang penting misiku berhasil.

Beliau bertanya padaku, “Kamu kuliah?” Aku bilang “iya Tante, aku kuliah di salah satu kampus manajemen di Jakarta. Tapi aku selalu terbentur biaya, belum lagi uang yang harus aku keluarkan untuk tugas kuliah.” Berhasil! Beliau iba padaku, bahkan aku bisa mendapatkan nomor teleponnya tanpa sepengetahuan Roy dan Ayahnya. Nampak aku bisa menguras uangnya hanya dengan memasang muka memelas dan rekayasa kata yang sebenarnya tak nyata.

Pada awal bulan, aku menelepon Beliau untuk meminta uang, tentu saja tidak langsung meminta. Aku memelas dahulu sampai Beliau berinisiatif memberikannya. Aku bilang “Tante, aku harus beli peralatan untuk tugas kuliah seharga Rp 500.000,- tapi Ibuku sedang tak punya uang. Bagaimana ya?” Lalu beliau berkata “kamu kasihan sekali ya, keadaanmu susah, padahal kebutuhanmu banyak. Nanti Tante bantu ya.” Begitu seterusnya, padahal tidak semua yang kubilang itu benar. Bahkan tidak jarang uang yang kudapat darinya, aku belikan narkoba dan bersenang-senang dengan teman-temanku yang lain. Aku bisa mendapatkan berapapun yang kumau darinya hanya dengan mengiba dan berkata dengan nada memelas.

Setiap tanggal muda, aku selalu mendapatkan uang dari seorang Ibu yang bukan Ibuku. Aku berhasil menipu. Aku tak peduli dengan balasan yang nanti kudapatkan, karena aku sangat menikmati ini. Apalagi aku sudah miskin sekarang, jadi wajar jika aku ingin menikmati kekayaan selagi ada kesempatan. Aku simpulkan bahwa hanya dengan mengiba saja, kebutuhanku terpenuhi, meski sementara. Tak kupikirkan hidupku setelahnya bagaimana.

No comments:

Post a Comment