Tema: Hukum Menikah Bagiku
Oleh: Ustadz Isham Aini, Dipl. S.HI., Lc, MA
Masjid Nurul Iman, Blok M Square, Jakarta Selatan
Sabtu, 6 Maret 2021 - Ba'da Dzuhur
Status hukum nikah tergantung kondisi masing-masing. Bisa wajib, atau bisa juga sunnah; bahkan hukumnya bisa menjadi makruh atau haram. Namun, ada situasi yang terkadang memaksa kita untuk menikah, atau memaksa kita untuk menunda penikahan.
Syaikh Shalih al-Fauzan menjelaskan dalam Ushul Fiqh. Menikah, jika ditinjau dari status hukum syar'i, maka terdiri dari 5 jenis, yaitu:
1. WAJIB
Bagi seseorang yang sangat khawatir dirinya terjerumus dalam zina, jika dia menunda pernikahan, maka pernikahan adalah wajib hukumnya. Namun banyak dari kita yang menunda pernikahan meskipun hukumnya telah wajib bagi dirinya dikarenakan kekhawatiran terhadap dunia, belum kerja, belum mapan, dan sebagainya. Padahal justru inilah yang bisa menyulitkan di dalam pernikahan.
Carilah suami yang bertanggung jawab walaupun dia miskin, karena meski dia miskin, selama dia bertanggung jawab, maka dia akan senantiasa berusaha untuk memenuhi kewajiban terhadap keluarganya. Jangan cari laki-laki yang kaya, apalagi dia kaya dari orangtuanya. Lelaki semacam ini umumnya manja dan tidak mampu bersyukur karena sudah terbiasa hidup enak.
Rezeki sudah dijamin oleh Allah, maka jangan takut menikah walau miskin. Salah satu kendala seseorang menunda pernikahan adalah berasal dari orangtuanya yang tidak merestui karena calon suami belum mapan atau miskin. Maka yakinkan orang tua tentang niat dan tunjukkan kedewasaan, insyaa Allah akan diizinkan. Bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah akan mudahkan segala urusan.
Allah Ta'ala berfirman:
"Barangsiapa bertakwa kepada Allah, maka Allah akan mengadakan baginya jalan keluar, dan Allah akan memberikan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka." (QS. Ath-Tholaq : 2-3).
Sesungguhnya status seseorang tidaklah penting di dalam pernikahan. Apakah dia janda, duda, lajang, ataupun bujang, selama agamanya baik, maka menikahlah.
Khusus ketika menikahi seorang janda karena Allah, orang-orang yang gemar memperhatikan atau menyantuni janda atau orang miskin, maka ia seperti orang yang sedang berada dalam jihad fisabilillah, shalat qiyamul lail, atau puasa sunnah. Banyak keutamaan di dalamnya.
Saat ini fitnah telah merebak dan menyebar luar biasa, begitu banyak aurat yang nampak tersebar, dan sebagainya. Maka Rasulullah berpesan untuk segera menikah. Jika belum mampu menikah, maka berpuasalah.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa yang belum mampu menikah maka berpuasalah, karena berpuasa dapat menjadi obat pengekang baginya." (HR. Bukhari 5065 dan Muslim No. 1400).
Baktikan diri dan perbaiki hubungan dengan orang tua dengan adab dan cara yang baik agar mereka bisa merestui pernikahan. Teruslah berdoa kepada Allah agar niat baik ini dapat segera dimudahkan.
Wajibnya menikah juga berlaku ketika untuk menjaga kesucian dirinya dari segala hal yang haram.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
"Jika seseorang sangat membutuhkan nikah, karena khawatir dengan perbuatan zina, maka dia boleh mendahulukan nikah daripada berhaji."
"Jika seseorang sangat membutuhkan nikah, karena khawatir dengan perbuatan zina, maka dia boleh mendahulukan nikah daripada berhaji."
Menikah bagi yang dikhawatirkan dari zina, maka itu lebih afdhol dari shalat dan puasa sunnah.
"Tidak ada perbedaan dalam situasi fitnah antara mampu memberi nafkah atau tidak, maka segeralah menikah."
Pilih pasangan pertama kali yang baik agamanya, setelahnya baru tentukan kriteria yang lain. Karena tujuan pernikahan adalah agar kita tenang dan tentram bersama pasangan dan membentuk keluar yang diridhai Allah. Perhiasan dunia tidaklah sebanding dengan perhiasan memiliki pasangan yang shalih/shalihah.
Jangan nikahi laki-laki atau perempuan yang musyrik, jangan pula menikah dengan muslim tapi tidak baik agamanya, karena kamu akan merugi.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Wanita dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya; maka pilihlah wanita yang baik agamanya, niscaya engkau akan beruntung." (HR. Bukhari No. 5090 dalam kitab an-Nikaah, Muslim No. 1466 dalam kitab ar-Radhaa', Abu Daud No. 2046 dalam kitab an-Nikaah, An-Nasa'i No. 3230 dalam kitab an-Nikaah, Ibnu Majh No. 1858 dalam kitab an-Nikaah, dan Ahmad No. 9237)
Sebelum melakukan pernikahan atau walimah, biasanya kita menentukan nilai, angka, atau nominal untuk walimah tersebut. Ada 3 hal yang perlu diperhatikan untuk menentukan angka tersebut agar sesuai dengan akad kedua belah pihak, yaitu:
1. Sesuaikan dengan kebutuhan;
2. Sesuaikan dengan konsep pernikahan'
3. Bicarakan bagaimana sebaiknya walimah akan dilakukan.
2. SUNNAH
Menikah disunnahkan ketika seseorang yang dianjurkan untuk menikah tapi masih bisa mengendalikan diri dari perbuatan dari zina.
3. HARAM
Jika seseorang berada di negeri kafir harbi (kafir yang mengganggu dan bahkan mengancam keselamatan umat Islam sehingga wajib diperangi), karena bisa membahayakan keturunan dan kuasa mereka, tidak ada jaminan keamanan bagi istrinya.
Pernikahan yang kemudian bisa merusak agama juga dilarang dan menjadi haram hukumnya.
4. MAKRUH
Ketika seseorang sudah tidak memiliki syahwat karena tidak terwujudnya salah satu tujuan pernikahan.
5. MUBAH
Tidak bermasalah dengan syahwat.
Satu hal yang penting diperhatikan untuk menentukan pasangan sebelum melakukan pernikahan adalah Shalat 5 waktu. Ada minimal 3 konsekuensi dari orang yang tidak melaksanakan shalat 5 waktu, yaitu:
1. Jika tidak shalat sama sekali, maka hukumnya adalah kufur; dan jika dalam pernikahan, maka hubungannya menjadi zina.
Allah Ta'ala berfirman:
"Dan hendaknya mereka mendirikan shalat dan janganlah mereka menjadi orang-orang yang musyrik." (QS. Ar Rum : 31)
2. Kufur
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Pembatas antara seseorang dengan syirik dan kekufuran adalah meninggalkan shalat." (HR. Muslim No. 82)
"Sesungguhnya perjanjian antara kita dengan mereka (kaum musyrikin) adalah shalat. Barangsiapa yang meninggalkannya, maka ia telah kafir." (HR. At-Tirmidzi No. 2621)
3. Kalau dia tidak meninggalkan kewajiban shalat seluruhnya (malas-malasan), lalu bertaubat 3x, namun masih tetap lalai, maka itu bisa menjadikannya keluar dari Islam.
Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin rahimahullah mengatakan:
"Jika seseorang mengakui wajibnya shalat namun ia dikalahkan oleh rasa malas dan meremehkan shalat, maka para ulama berbeda pendapat apakah ia menjadi kafir atau tidak. Sebagian ulama berpendapat jika seseorang meninggalkan satu shalat wajib saja hingga keluar waktunya, maka ia telah kafir. Sebagian ulama berpendapat ia tidak kafir sampai ia meninggalkan shalat seluruhnya. Inilah pendapat yang benar. Yaitu seseorang menjadi kafir jika meninggalkan shalat secara mutlak, karena berarti ia tidak ada keinginan sama sekali untuk shalat." (Majmu Fatawa war Rasail Ibnu Utsaimin, 12/51)
Subhanaakallahumma wa bihamdika, asy-hadu al-laa ilaaha illaa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaik.



No comments:
Post a Comment