Musik Pintu Maksiat
Oleh: Ustadz Sofyan Chalid Ruray, Lc dan Uki Kautsar
Kamis, 5 Agustus 2021 (26 Dzulhijjah 1442 Hijriyah)
Kita harus mengetahui tujuan hidup kita di dunia, yaitu untuk beribadah hanya kepada Allah.
Hakikat ibadah adalah kita menjalankan perintah Allah dan menjauhkan laranganNya.
Salah satu larangan yang harus kita jauhi adalah musik dan nyanyian, karena itu termasuk perbuatan maksiat berdasarkan dalil dari Alquran dan Sunnah juga berdasarkan ijma' para ulama.
Yang mengkhawatirkan dari musik adalah bisa menjerumuskan manusia dari perbuatan haram lainnya, sehingga kita harus meninggalkannya.
Kalau Allah tidak memberikan hidayah, maka tidak mungkin seorang hamba bisa meninggalkan larangan Allah. Ini adalah nikmat yang besar dan harus disyukuri bagi setiap hamba yang diberikan nikmat ini.
Uki Kautsar:
Ini hanya nasihat, murni hanya menasihati bukan menghukumi teman-teman musisi karena saya sayang dengan kalian.
Pulang dari umroh, saya sempat debat dengan seseorang di Twitter dan dia mengatakan bahwa musik itu haram. Saya dulu sering membantah orang tentang haramnya musik, lalu semakin lama terpikir, dan merasa ada kemungkinan bahwa benar musik itu haram.
Kita harus adil pada diri sendiri. Kita harus melihat dari dua sisi, kita tidak boleh condong hanya kepada satu pendapat. Hingga saya mencari tentang dalil haramnya musik. Sampai pada kesimpulan yang menjadi perselisihan, kebanyakan dari yang menghalalkan musik adalah dari definisi musiknya. Ada yang bilang Alquran itu musik, ada yang bilang burung itu musik, lalu ada yang bilang musik yang melalaikan yang haram.
Ada argumen lain "yang penting liriknya bagus dan tidak mengajak pada keburukan", sedangkan saat itu saya sedang mengerjakan musik instrumental. Itulah fitnahnya. Ketika kita bertanya hukum musik, maka kita akan temukan jawaban yang berbeda.
Sejak dulu saya pernah dengar tentang hukum musik, tapi mungkin karena iman belum kuat, jadi saya menolak. Lalu saya mendengar kaidah "yang halal itu jelas, yang haram jelas, dan syubhat". Jadi saya mencari tahu tentang kepastian hukumnya, dan alhamdulillah selama 1-2 tahun saya menemukan jawabannya bahwa semua yang telah saya alami adalah karena syubhat.
Ada 2 skenario dalam menyikapi hukum musik, yaitu musik hukumnya mubah dan musiknya hukumnya haram. Kalau mubah, saya aman. Kalau haram, bisa bahaya.
3 pelajaran yang bisa dipetik dari pernyataan Uki:
1. Ada orang yang berusaha mengingatkan
Mungkin kita belum bisa langsung terima. Jangan berkecil hati ketika kita menyampaikan kebenaran, karena bisa jadi suatu saat dia akan terima kebenarannya.
2. Ada usaha belajar
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, Allah akan pahamkan dia tentang agama" (Muttafaqun 'Alaih)
3. Ada usaha untuk menjaga diri dari perbuatan yang haram
Ketika kita merasa masih samar, belum jelas hukumnya, maka sebaiknya kita tinggalkan; dan ini adalah sikap yang bagus, sesuai yang diajarkan oleh Rasulullah
Suatu ketika Abu Hurairah pernah ditanya oleh seseorang, "Wahai Abu Hurariah, apakah yang dimaksud dengan takwa?". Kemudian Abu Hurairah memberikan sebuah gambaran, "Pernahkah engkau melewati suatu jalan berduri? Apa yang engkau lakukan?" Orang itu menjawab, "Apabila aku melihat duri, maka aku menghindarinya atau aku mundur". Abu Hurairah berkata, "Itulah takwa" (HR. Ibnu Abi Dunya)
Permasalahan musik sudah sering dibahas, namun dalam kesempatan kali ini saya ingin mengajak kepada kaum muslimin melihat kepada 2 kitab yang ditulis oleh ulama besar dari Madzhab Syafi'i, karena di negeri kita banyak yang mengaku pengikut madzhab Syafi'i, yaitu kitab dari Imam Ibnu Hajar al Haitami, yang luas ilmunya khususnya dalam fiqih dalam madzhab Syafi'i.
1. KITAB AZ-ZAWAJIR AN IQTIRAFAL KABAYIR
Kitab ini berisi khusus menjelaskan tentang dosa-dosa besar
Di antara dosa-dosa besar tersebut, pada halaman 168, beliau mengatakan:
Dosa besar yang ke-446 sampai 451.
1. Bermain alat musik yang dipetik;
2. Mendengarkannya;
3. Bermain alat musik tiup;
4. Mendengarkannya;
5. Bermain alat musik tabuh;
Dalam beberapa riwayat, ada yang dikecualikan yaitu duff, namun hanya boleh dimainkan oleh anak kecil di hari 'Id.
6. Mendengarkannya.
Kemudian beliau menyampaikan dalil seperti yang selalu disampaikan oleh para ulama tentang haramnya musik.
Allah Ta'ala berfirman:
"Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan mendapatkan adzab yang menghinakan" (QS. Luqman: 6)
Ibnu Abbas dan Hasan Al Bashri menafsirkan, yang dimaksud dengan ucapan sia-sia dalam ayat di atas adalah semua alat yang melalaikan termasuk di dalamnya alat musik.
"Dan hasunglah mereka wahai setan dengan suaramu siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu" (QS. Al Isra': 64)
Imam mujahid ahli tafsir dari generasi Tabi'in menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan suara setan adalah nyanyian dan alat-alat musik.
Ada pelajaran dari kedua ayat tersebut:
Di ayat pertama, Allah menyebutkan ucapan yang sia-sia, termasuk nyanyian dan musik adalah untuk menyesatkan dari ayat Allah;
Di ayat kedua, setan mempergunakan suaranya melalui nyanyian dan musik adalah untuk menyesatkan manusia.
Pada halaman 169, Imam Ibnu Hajar pun berdalil dengan hadist tentang haramnya musik
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Akan ada umatku yang menghalalkan zina, sutra bagi laki-laki, khamr, dan alat-alat musik" (HR. Bukhari, Abu Daud, dan lainnya)
Di dalam hadits ini terdapat keterangan jelas dan tegas tentang pengharaman semua alat yang melalaikan yang biasa dimainkan. Ada 2 orang syaikhan dari madzhab Syafi'i (Ar-Rafi'i dan An-Nawawi) tentang adanya ijma' di mana mereka telah menukil, tidak ada perbedaan pendapat ulama tentang haramnya alat musik yang dipukul dan dipetik.
Pada halaman 172, Imam Ibnu Hajar al Haitami menyebutkan, ini renungan bagi pengikut madzhab Syafi'i secara khusus dan kaum muslimin secara umum.
"Dan sungguh, telah diketahui tanpa keraguan bahwa Imam Syafi'i berpendapat haramnya seluruh bentuk alat musik."
2. KITAB KAFFAR-RAA'A MIN MUHARRAMATI'L LAHWI WAS SAMA'A
Beliau menyebutkan pada halaman 74:
Dari Nafi', pembantu Ibnu Umar, beliau mengatakan:
"Sesungguhnya Ibnu Umar pernah mendengarkan seruling ditiup oleh seorang penggembala, maka beliau segera meletakkan kedua jarinya di kedua telinganya dan beliau menjauh dari jalan.
"Wahai Nafi, apakah engkau masih mendengarkannya", beliau terus berjalan sampai saya mengatakan "Tidak". Barulah beliau melepaskan jarinya dari telinganya dan berkata, "Aku pernah bersama Rasulullah dalam perjalanan, lalu beliau mendengarkan suara musik dan beliau melakukan seperti apa yang aku lakukan tadi." (HR. Abu Dawud No. 4924)
Ketika kita tidak sengaja mendengarnya, maka berusahalah untuk menjauhinya.
Alat-alat musik sudah ada sejak zaman Rasulullah ﷺ. Hadits tadi menunjukkan adanya alat-alat musik. Jika berbicara efek dari musik, maka musik zaman sekarang lebih melalaikan daripada musik zaman dulu.
Pada halaman 77, beliau menukilkan adanya ijma'
Berkata Imam Rafi'i di dalam Al Aziz dan An-Nawawi dalam kitab Raudhah,
"Seruling Iraq dan yang dipukul bersama dengan alat-alat musik yang dipetik hukumnya haram tanpa ada perbedaan pendapat para ulama."
Sesungguhnya banyak sekali penukilan dari ulama 4 madzhab, khususnya madzhab Syafi'i tentang haramnya musik.
Kita tidak bisa mengatakan tidak apa-apa mendengarkan atau bermain musik jika tidak melakukan maksiat, karena musik itu sendiri adalah maksiat. Ketika kita berbuat maksiat, maka iman akan menjadi lemah, dan faktor terbesar seseorang terjerumus dalam dosa adalah karena lemahnya iman.
Iman itu bertambah dan berkurang. Bertambah karena melakukan amal ketaatan, dan berkurang karena kita melakukan perbuatan dosa. Setiap perbuatan dosa akan menjerumuskan ke dalam dosa yang lain, tapi musik memiliki pengaruh yang lebih dahsyat.
Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu mengatakan:
"Nyanyian menumbuhkan kemunafikan di dalam hati, sebagaimana air dapat menumbuhkan tanaman." (HR. Al Baihaqi dalam Sunan al-Kubro dan Ibnu Abi Dunya dalam Dzammul Malaahiy)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, "Alat-alat musik adalah khamrnya jiwa, yang pengaruhnya lebih dahsyat daripada khamr di dalam gelas. Dia bereaksi lebih hebat di dalam jiwa daripada reaksi arak. Apabila mereka telah mabuk dengan nyanyian, mereka bisa terkena kesyirikan, condong kepada perbuatan keji dan dzalim sehingga mereka pun berbuat syirik, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah Azza Wa Jalla dan berzina." (Majmu' Fatawa X/417)
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Khamr adalah induk dari segala kejahatan. Barangsiapa meminumnya, maka shalatnya tidak akan diterima selama 40 hari, apabila ia mati sementara ada khamr di dalam perutnya, maka ia mati sebagaimana matinya orang jahiliyyah" (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Ausath No. 3810)
Para ulama menunjukkan dalil bahwa musik seperti khamr di dalam gelas, sehingga lebih berbahaya dari khamr sesungguhnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, "Nyanyian adalah mantra perzinaan." (Majmu' Fatawa 15/349)
Jadi benar adanya jika dikatakan musik adalah pintu maksiat yang bisa membuka perbuatan dosa-dosa yang lain. Kalaupun ada orang yang tetap menjalankan ketaatan dan dia juga bermain musik, maka sedikit yang melakukannya.
Uki Kautsar:
Kenapa saya berbicara, karena saya pernah mengalaminya.
Ketika saya bermain di klub malam. Ketika mereka mengundang artis, pada iklan yang terpasang adalah artisnya, dan itulah yang dimaksud dengan pintu maksiat, karena kita musisi yang diiklankan untuk kemudian mendatangkan kemaksiatan di klub malam tersebut.
Bagaimanakah hukum ketika kita meninggalkan musik, apakah saya harus membuang semua yang kita dapatkan dari bermusik?
1. Ketika seseorang kembali kepada Allah, meninggalkan kehidupan lamanya yang penuh dosa, maka tidak mungkin Allah meninggalkannya. Bukankah Allah yang memberikan rezeki walaupun kita bergelimang dosa? Bahkan Allah sudah menulis rezeki kita 50.000 ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Allah telah menulis takdir semua makhluk ciptaanNya sejak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi" (HR. Muslim)
Kita harus menghadirkan di dalam hati tentang keyakinan kepada takdir Allah, keyakinan kepada Allah yang maha memberikan rezeki, yang akan menolong hamba-hambaNya yang bertakwa.
Allah Ta'ala berfirman:
"Barangsiapa bertakwa kepada Allah, maka Allah akan berikan jalan keluar, dan Allah akan memberikan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka" (QS. Ath-Thalaq: 2)
2. Andai kita ditimpa kesulitan ekonomi, maka itu ujian. Lebih baik sengsara di dunia daripada sengsara di akhirat.
Allah Ta'ala berfirman:
"Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengucapkan "Kami telah beriman" sedangkan mereka tidak diuji?" (QS. Al Ankabut: 2)
Jika kita jujur dan ikhlas, maka Allah akan berikan jalan keluar.
3. Hukum harta yang kita kumpulkan sebelum hijrah
Harta haram ada 2 macam:
1. Hak orang, maka ini harus dikembalikan
Kalau orang itu sudah nggak ada, maka kita sedekahkan harta itu untuk orang tersebut
2. Harta haram tapi tidak ada orang yang berhak
Para ulama mengatakan, jika dulu kita belum mengetahui hukumnya maka hukumnya dimaafkan oleh Allah karena ketidaktahuan, namun jangan diulangi lagi perbuatan tersebut.
Allah Ta'ala berfirman:
"Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah" (Al Baqarah: 275)
Sebenarnya ayat ini membahas riba, namun maknanya umum mencakup semua harta haram yang belum diketahui.
"Wahai Rabb kami, jangan hukum kami karena kamu lupa atau kami tidak tahu" (QS. Al Baqarah: 286)
Jika para musisi bertobat, maka dia tidak boleh menjual alat musiknya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Sesungguhnya Allah ketika mengharamkan sesuatu, maka Allah mengharamkan juga penghasilannya" (HR. Ahmad 1:293)
Sejak kecil, anak harus diajarkan nilai-nilai ketakwaan. Jika kita mengajari musik kepada anak, maka dosa mengalir kepadanya. Termasuk juga para musisi yang bermain musik, kemudian menjadi idola, bukan hanya dia menanggung dosanya, tetapi dia juga menanggung dosa orang yang mengikutinya. Bayangkan jika misalnya ada 1 juta orang mengikuti kita dari bermusik, maka sebanyak itu pula kita menanggung dosa mereka.
Faktor utama agar istiqomah adalah:
1. Memperkuat tauhid, karena tauhid adalah sumber untuk mendekatkan diri kepada Allah dan membutuhkan pertolongan dari Allah.
2. Banyak berdoa kepada Allah
3. Ada usaha, berusaha menjauhi dan jangan coba-coba mendekatkan diri kepada hal yang haram tersebut
4. Selalu ingat mati
Setelah mati akan ada pertanggungjawaban, dan kita akan mengetahui apa yang kita lakukan di dunia
5. Jadikan teman bergaul kita adalah dari orang-orang shalih.
Berteman boleh, tapi jangan jadikan mereka teman dekat.
Subhanaakallahumma wa bihamdika, asy-hadu al-laa ilaaha illaa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaik.

No comments:
Post a Comment