Saturday, 3 August 2024

Kajian Sabtu: Pentingnya Aqidah dalam Kehidupan // Ustadz Harits Abu Naufal hafizhahullah

Kajian Sabtu
Pentingnya Aqidah dalam Kehidupan
Oleh: Ustadz Harits Abu Naufal hafizhahullah 
Rumah Alquran Riyadus-Sunnah Binalindung, Pondok Gede, Bekasi
Sabtu, 3 Agustus 2024 / 29 Muharram 1446

Secara bahasa, Aqidah diambil dari kalimat Al-Aqdu, maknanya adalah mengikat sebuah perkara, dan dipegang atau dikuatkan hingga dia tidak boleh lepas.

Maka dalam jual beli misalnya, ketika sudah terjadi akad, maka keduanya saling mengikat.

Akad lazim, tidak boleh dibatalkan sepihak kecuali dibatalkan kedua belah pihak
Akad tidak lazim, boleh dibatalkan oleh satu pihak.

Secara istilah, Aqidah adalah mengimani sesuatu dengan jujur dan sesuatu yang sifatnya pasti, tidak ada keraguan terhadap keimanan tersebut. Apakah itu terkait dengan Rububiyyah, Uluhiyyah, atau Asma was-Shifat Allah, tidak boleh ada keraguan di dalamnya.

Keraguan dalam ibadah, sebuah keyakinan yang tidak bisa dihilangkan dengan keraguan.

Keraguan dalam akad, keraguan bisa memberikan perubahan atau pengaruh dalam keyakinan.

Kebenaran Islam dibangun di atas Alquran dan Sunnah Rasulullah ﷺ.

Aqidah kita adalah beriman kepada Allah, malaikat, kitab, Rasul, Hari Akhir dan yang berkaitan dengannya, dan takdir termasuk dalam perkara ghaib. Pembahasan Aqidah dan Tauhid adalah pembahasan yang sama.

Aqidah membahas masalah keimanan
Tauhid membahas masalah Uluhiyyah dan hal-hal yang membatalkan Tauhid seseorang.

Ulama mutaqoddimin dahulu menggabungkan pembahasan antara Aqidah dengan Tauhid. Sedangkan ulama sekitar tahun 600 Hijriah (Ulama Muta'akhirin) memisahkan antara pembahasan Aqidah dengan Tauhid.

2. Para Ulama Mutaqoddimin membagi Tauhid menjadi 2. Para Ulama Muta'akhirin membagi Tauhid menjadi 3. Ini bukanlah pembagian yang baru dikenal, melainkan sudah dibahas sejak dahulu.

Ulama Mutaqoddimin membagi Tauhid menjadi 2, yaitu:
1. Fit-thalab wal Qashd, yaitu meminta (thalab)
Ketika Allah menyebutkan tentang Uluhiyyah, maka Allah meminta untuk beribadah, menyembah hanya kepada Allah. Perbedaan antara Rububiyyah kembali kepada perbuatan Allah. Sedangkan Uluhiyyah adalah perbuatan manusia yang Allah tuntut kepada manusia untuk memurnikan ibadah hanya kepada Allah. Sedangkan Qashd adalah tujuan Allah menciptakan kita dan seluruh makhlukNya.

2. Al Ma'rifah wal Itsbat, yaitu menetapkan. Maksudnya adalah ketika Allah memperkenalkan dirinya, tidak ada jalan bagi kita kecuali menetapkan apa yang Allah dan RasulNya ﷺ tetapkan.

Ketika kita membayangkan bagaimana Allah, maka kita telah terjatuh kepada kekeliruan dan kejahatan yang besar, karena akal kita sangat terbatas. Kita cukup terima apa yang Allah tetapkan.

Ulama Muta'akhirin membagi Tauhid menjadi 3, yaitu:
1. Rububiyyah 
2. Uluhiyyah 
3. Asma was-Shifat 

Apakah ada perbedaan Tauhid di antara keduanya?
Kalau kita mau mendalaminya, maka itu hanya perbedaan dalam sisi lafadz namun memiliki muara yang sama

Di zaman Muta'akhirin ketika buku filsafat banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, yang menjelaskan tentang penciptaan langit dan bumi, banyak manusia yang tersesat dalam memahami Asma was-Shifat Allah.

Perbedaan dalam pembagian Tauhid ini bukanlah sebuah masalah yang besar. Seorang penuntut ilmu harus bisa memahami permasalahan istilah dalam setiap perkara, seperti pada pembahasan ilmu Fiqh.

Para Ulama meneliti Alquran dan Hadits-hadits Rasulullah ﷺ kemudian disimpulkan tentang pembagian Tauhid agar kita mudah memahaminya. Ini hanya metode dan tidak keluar dari kaidah Alquran dan Hadits.

رَّبُّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَٱعْبُدْهُ وَٱصْطَبِرْ لِعِبَٰدَتِهِۦ ۚ هَلْ تَعْلَمُ لَهُۥ سَمِيًّا

"Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?" (QS. Maryam : 65)

Ketika ada orang mengatakan bahwa pembagian Tauhid sama dengan Trinitas adalah orang-orang yang jahil. Ini jelas berbeda, karena Trinitas membagi menjadi 3 Tuhan menjadi 1, sedangkan Tauhid dibagi 3 tetap berporos pada satu Dzat, yaitu Allah.

Ketika para ulama membagi Tauhid menjadi menjadi 3, maka itu akan membongkar kesesatan mereka, terutama dalam ibadah (Uluhiyyah). Karena mereka hanya ingin bertauhid sekadar dalam perkara Rububiyyah, meyakini Allah sebagai Pencipta, tapi mereka beribadah kepada kuburan, menyembah orang-orang shalih yang sudah meninggal, di mana ini adalah penyimpangan dalam Uluhiyyah, yaitu memurnikan ibadah hanya kepada Allah.

Syirik adalah menyerupai Allah dengan makhlukNya yang itu merupakan bagian dari kekhususan Allah. Ketika seseorang meyakini adanya sifat kekhususan Allah pada diri seorang makhluk, maka itu berarti dia telah menyekutukan Allah, dan itu adalah kesyirikan.

Allah yang menentukan halal dan haram. Ketika manusia menciptakan sebuah hukum di mana bertentangan dengan apa yang sudah ditetapkan oleh Allah, maka dia telah menyekutukan Allah.

Ilmu Tauhid dan Aqidah bukanlah ilmu yang sifatnya sekadar teori, yang hanya dicatat lalu dihapal. Ilmu Tauhid dan Aqidah adalah ilmu yang akan menjadi proses dalam kehidupan kita sehari-hari, di mana akan nampak pada diri seseorang dalam segala aspek kehidupannya, apakah dalam urusan pribadi atau dalam kehidupan masyarakat. Akan terlihat ketika seseorang menjadikan Tauhid dan Aqidah hanya sebatas teori dengan seseorang yang menerapkan Tauhid dan Aqidah dalam kehidupannya.

Ketika kita tidak merasa khawatir dengan penyimpangan dalam Tauhid seperti kesyirikan atau kebid'ahan, maka kita belum paham dengan makna Tauhid dan Aqidah itu sendiri.

Tanpa kita sadari, tidak ada akar Tauhid dalam diri kita sehingga kita merasa bahwa Tauhid bukanlah sesuatu yang penting. Maka penting bagi kita untuk mempelajari ilmu Tauhid, bahkan harus diulang-ulang.

Ketika seseorang mati dalam keadaan syirik, dan dia diceburkan ke dalam neraka walaupun satu juta tahun lamanya, maka noda syirik itu tidak akan hilang. Naudzubilllah.

Semakin seseorang memahami Tauhid dan Aqidah, maka dia semakin khawatir dengan kesyirikan terjadi kepada dirinya, termasuk juga terjadi kepada kerabatnya. Dia akan selalu memperingatkan keluarga agar terbebas dari kesyirikan.

Seorang yang telah memahami Tauhid, maka tidak ada sedikitpun keraguan ketika berada dalam perkara yang telah diperintahkan oleh Allah, walaupun itu tidak masuk akal dan tidak bisa diterima.

"Dan Ibrahim berkata, ”Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Rabbku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Ya Tuhanku! Anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shaleh. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, “Hai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab, “Wahai bapakku! Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ). Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu)”Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.” Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik, Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman. Dan Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaq seorang nabi yang termasuk orang-orang yang saleh. Kami limpahkan keberkatan atasnya dan atas Ishaq. Dan di antara anak cucunya ada yang berbuat baik dan ada (pula) yang dzalim terhadap dirinya sendiri dengan nyata." (QS. As-Shaffat : 99-113)

Orang yang memahami Tauhid dan Aqidah tidak takut dengan ketetapan Allah, melainkan dia hanya takut menyelisihi perintah Allah. Akan tertanam keyakinan yang tinggi kepada Allah.

Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhu menceritakan:
“Pertama kali kaum wanita memakai ikat pinggang adalah karena (meniru) Ummu Ismail (Hajar); di mana ia memakai ikat pinggang untuk menghilangkan jejaknya dari Sarah. Nabi Ibrahim Alaihissalam membawa Hajar dan putranya Ismail –dalam keadaan Hajar menyusuinya- hingga Nabi Ibrahim Alaihissalam meletakkannya di tempat yang nantinya akan dibangun Baitullah; yaitu di dekat pohon besar di atas Zamzam, di atas bagian (yang nantinya berdiri di sana) masjid. Kala itu, di Mekkah tidak ada siapapun, dan tidak ada air. Nabi Ibrahim menempatkan keduanya di sana. Nabi Ibrahim pun meletakkan di dekat mereka sebuah geriba berisi kurma, dan wadah berisi air. Lalu Nabi Ibrahim membalikkan punggungnya untuk meninggalkan tempat tersebut. Hajar mengikuti Nabi Ibrahim dan berkata, “Wahai Ibrahim! Kemana engkau hendak pergi meninggalkan kami di lembah yang tak berpenghuni dan tak ada apapun di sini?” Hajar mengucapkan kata-katanya berulang kali, namun Nabi Ibrahim tidak juga menolehnya. Akhirnya Hajar bertanya, “Apakah Allah yang memerintahkan hal ini kepadamu?” Nabi Ibrahim menjawab, “Benar.” Hajar menimpali, “Kalau begitu, Allah tidak akan menyia-nyiakan kami.” kemudian Hajar kembali ke tempat semula.

Nabi Ibrahim Alaihissalam terus pergi, hingga ketika sudah berada di jalan pegunungan dan tidak terlihat lagi oleh Hajar dan putranya, Nabi Ibrahim menghadapkan wajahnya ke (tempat yang nanti akan didirikan-red) Baitullah, lalu beliau memanjatkan doa berikut dengan mengangkat kedua tangannya:

رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ

Ya Rabb kami! sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, wahai Rabb kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. (QS. Ibrahim : 37)

Setelah itu, Hajar mulai menyusui Ismail. Ia meminum dari air yang ditinggalkan Nabi Ibrahim. Hingga ketika air telah habis, ia mulai merasa kehausan, begitu pula putranya, Ismail. Hajar menatap putranya yang meronta-ronta. Karena tak sanggup melihat keadaan putranya, Hajar berlarian meninggalkan putranya menuju bukit Shafa, bukit terdekat darinya. Ia naik lalu berdiri di sana dan memandangi lembah yang baru saja ia tinggalkan,  berharap ada orang lain di sana. Ternyata tidak ada seorangpun selain mereka berdua. Ia turun dari bukit Shafa dan terus berlari kecil melewati lembah sehingga sampai ke bukit Marwah. Ia berdiri di sana untuk memeriksa, apakah ada seseorang yang terlihat? Namun tidak ada seorang pun. Ia melakukan itu sampai 7 kali.

Tatkala Hajar berada di atas Marwah, ia mendengar suara. Ia berkata kepada dirinya, “Diamlah!” Lalu ia mencari-cari dengar dengan seksama. Ia berkata, “Engkau sudah memperdengarkan suaramu, bila memang engkau bisa menolong (maka tolonglah)”. Ternyata ia dapati sesosok malaikat (Malaikat) di tempat air zamzam yang sedang mencari dengan kakinya (bagian belakang) – (atau perawi berkata:) dengan sayapnya- hingga muncullah air. (Melihat air itu-red), Hajar membendung air tersebut lalu menciduknya ke dalam wadah airnya, sedangkan air tersebut menyembur setelah diciduk Hajar.

Lalu, Hajar minum dan menyusui anaknya. Malaikat berkata kepadanya, “Janganlah takut binasa! Sesungguhnya di sini ini rumah Allâh (Baitullah). Anak ini dan ayahnya akan membangunnya. Dan sungguh, Allâh tidak akan menyia-nyiakan orang-orang dekatnya.”
(HR. Bukhari No. 3364)

Kenyamanan orang yang bertauhid kepada Allah adalah ketika dia melaksanakan ibadah. Ketika kita membaca Alquran, melaksanakan shalat, hadir di Majelis Ilmu, namun belum merasakan nikmat, maka itu belum ada Tauhid di dalam diri kita.

Allah menjaga agama ini dengan 2 laki-laki
1. Abu Bakar Shiddiq ketika terjadi fitnah bahwasanya tidak ada yang mau membayar zakat sehingga banyak yang murtad.

2. Imam Ahmad ketika terjadi fitnah bahwasanya ada yang mengatakan Alquran adalah makhluk. Ketika itu Imam Ahmad dicambuk.
Cambukan pertama, beliau mengatakan Bismillah 
Cambukan kedua, beliau mengatakan Alhamdulillah 
Cambukan ketiga, beliau mengatakan bahwasanya tidak akan menimpa sesuatu kecuali apa yang Allah tetapkan kepada kita, dan ketika itu terjadi maka itu adalah kebaikan untuk kita.
Cambukan keempat, beliau mengatakan Alquran adalah Kalamullah dan bukan makhluk.

Jangan tertipu dengan retorika kebanyakan orang yang mencampur banyak Aqidah dengan dalih persatuan umat. Berpeganglah dengan Aqidah yang lurus, yaitu yang bersumber dari Alquran dan Sunnah berdasarkan pemahaman para Salafush-shalih.

No comments:

Post a Comment