Tabligh Akbar
Pahlawan yang Terlupakan
Oleh: Ustadz Harits Abu Naufal dan Ustadz Ahmad Rasyid Bazher hafizhahumullah
Masjid At Tiin, Asem Baris, Tebet, Jakarta Selatan
Ahad, 10 November 2024
[SESI 1]
Ustadz Harits bin Abu Naufal hafizhahullah
Pahlawan - Thufail bin Amr Ad-Dausy radhiyallahu 'anhu
1. Kondisi umum pemuda di zaman Rasulullah ﷺ
Jika kita bandingkan pemuda zaman sekarang dengan pemuda zaman Rasulullah ﷺ itu bagaikan langit dan bumi.
Kondisi pemuda zaman sekarang dengan fasilitas yang ada ternyata sangat jauh berbeda dengan zaman Nabi ﷺ. Salahnya mereka menjadikan idola. Anak muda hari ini ketika ditanya panutannya, maka jawabannya ada yang pezina, penjudi, sehingga mental mereka lemah.
Adapun pemuda zaman Nabi ﷺ, mereka dididik dengan diperkenalkan dengan orang-orang hebat dari kalangan para nabi. Demikianlah dikisahkan para nabi dan rasul yang dengannya bisa mengokohkan hati kalian. Itu sebabnya di dalam Alquran berisi perintah, larangan, adab, dan juga Kisah para nabi dan rasul sehingga terbentuklah generasi yang sangat hebat. Generasi yang bukan hanya fokus dengan ibadah kepada Allah, tetapi generasi yang ketika diberikan amanah, mereka menjalankan amanah tersebut dengan baik.
Dulu kami mengajarkan anak-anak kami tentang siroh seperti kami mengajarkan mereka tentang Alquran. Ilmu tentang siroh adalah ilmu tentang dunia dan akhirat.
Para ulama kita terdahulu sangat fokus dalam mengajarkan siroh kepada anak-anak dan murid-murid mereka.
2. Apa pentingnya kita mempelajari siroh
Manfaat dari mempelajari siroh di antaranya adalah:
1) Tertanamkan keyakinan iman dalam diri seorang muslim
Para Sahabat ketika mengadu kepada Nabi, ternyata yang dijadikan hiburan oleh Nabi ﷺ adalah menceritakan para Sahabat tentang orang-orang terdahulu.
Aisyah radhiyallahu 'anha ketika berzina, dia harus melewati ujian tersebut hingga pada waktu yang tepat, Allah menurunkan ayat dan membersihkan namanya hingga langit ke tujuh.
Jika seandainya hari ini kita diuji, kemudian besok selesai, maka itu tidak menjadi pelajaran. Namun jika ujian itu panjang, maka itu bisa menjadi hikmah baginya dan orang lain.
2) Membuat kita merasa kurang sebanyak apapun kebaikan yang telah kita lakukan
Sebanyak apapun yang sudah kita lakukan untuk dakwah ini, maka itu akan terasa kurang kalau kita mempelajari siroh.
Abdullah Ibnu Mubarak rahimahullah berkata kepada seseorang yang mengajaknya pergi:
"Alangkah baiknya saya mempelajari siroh daripada saya duduk-fidi
3) Mengikuti jalan ibadah mereka
Dengan mengikuti jalan ibadah mereka, kita akan mengubah prioritas hidup kita seperti prioritas hidup mereka.
Kita berpikir mengikuti Rasulullah hanya sebatas berjenggot, tidak isbal. Padahal kita juga harus mengubah pandangan hidup sebagaimana pandangan hidup Rasulullah ﷺ dan para Salafush-shalih sebagaimana mereka memprioritaskan akhirat bagi diri mereka.
Rasulullah ﷺ setelah berhasil mengalahkan musuh di dalam pernah, dan banyak harta rampasan perang dan membagikannya kepada kaum Muslimin. Sedangkan orang-orang yang sudah mengikuti Rasulullah ﷺ dari awal tidak dibagikan, sehingga beliau berkata kepada para Sahabat bahwasanya kembalinya Rasulullah ﷺ mereka adalah lebih penting walaupun mereka tidak mendapatkan harta dunia.
3. Kisah dari seorang Pahlawan yang pernah hidup, Thufail bin Amr Ad-Dausy radhiyallahu 'anhu
Thufail bin Amr Ad-Dausy radhiyallahu 'anhu adalah seorang pemuda yang menjadi pemimpin kabilah Daus di zaman Jahiliyyah. Beliau adalah seorang yang sangat menjaga muru'ahnya, sangat menjaga akhlaqnya. Beliau juga seorang penyair yang sangat terkenal di negerinya kala itu.
Beliau berasal dari Tihamah (arah menuju Yaman dari Mekkah). Ketika beliau tiba kota Mekkah, saat itu sedang terjadi perseteruan antara Nabi ﷺ dengan kaum kafir Quraisy. Beliau datang karena kabar yang didengar bahwasanya ada lelaki yang memiliki keistimewaan yang luar biasa. Lelaki tersebut adalah Muhammad yang menggelari dirinya dengan sebutan Rasulullah ﷺ.
Masing-masing pihak membutuhkan pendukung dan sahabat. Rasul ﷺ berdoa kepada Tuhannya dan yang menjadi senjata Beliau adalah keimanan dan kebenaran. Sedang kafir Quraisy menentang dakwah Rasul dengan segala jenis senjata, dan mereka berusaha menghalangi manusia dari Beliau dengan cara apapun. Thufail mendapati dirinya telah berada dalam peperangan itu tanpa persiapan apapun dan ia turut serta di dalamnya tanpa sengaja. Ia tidak datang ke Mekkah dengan tujuan ini, dan tidak ada dalam benaknya urusan Muhammad ﷺ dan Quraisy.
Thufail mengisahkan: “Aku tiba di Mekkah. Begitu para pemimpin Quraisy melihatku, mereka mendatangiku dan mereka menyambutku dengan begitu mulia. Dan mereka memposisikan diriku dengan begitu terhormat. Lalu para pemimpin dan pembesar mereka berkata kepadaku: “Ya Thufail. Engkau telah datang ke negeri kami. Ada seorang disini yang mengaku bahwa ia adalah seorang Nabi yang telah merusak urusan dan mencerai-berai persatuan serta jama’ah kami. Kami khawatir ia dapat mengganggumu dan mengganggu kepemimpinanmu pada kaummu sebagaimana yang telah terjadi pada diri kami. Maka janganlah engkau berbicara dengannya, dan janganlah kau dengar apapun dari pembicaraannya; sebab ia memiliki ucapan seperti seorang penyihir: yang dapat memisahkan seorang anak dari ayahnya, dan seorang saudara dari saudaranya, dan seorang istri dari suaminya.”
Ternyata isu dan tuduhan seperti itu bukan hanya terjadi pada masa sekarang, tetapi memang sudah terjadi sejak zaman dahulu.
Musuh yang disertai dengan kecintaan lebih berbahaya daripada musuh yang disertai dengan kebencian.
Musuh yang disertai dengan kecintaan akan menghancurkan kita di dunia dan di akhirat.
Allah bisa membela agama ini di kala banyaknya orang yang mencela agama ini dengan memberikan Hidayah kepada orang-orang yang mencelanya.
Thufail berkata lagi, "Saat aku datang ke Masjid untuk berthawaf di Ka’bah, dan mengambil berkah dengan para berhala yang ada di sana sebagaimana kami melakukan haji kepadanya untuk mengagungkan berhala-berhala tadi, akupun menutup telingaku dengan kapas karena khawatir telingaku mendengar sesuatu dari perkataan Muhammad. Akan tetapi bagitu aku masuk ke dalam Masjid aku mendapati ia sedang berdiri melakukan shalat dekat Ka’bah bukan seperti shalat yang biasa kami lakukan. Ia melakukan ibadah bukan seperti ibadah yang biasa kami kerjakan.
Aku senang melihat pemandangan ini. Aku menjadi tercengang dengan ibadah yang dilakukannya. Aku mulai mendekat kepadanya. Sedikit demi sedikit tanpa disengaja sehingga aku begitu dekat dengannya. Kehendak Allah berbicara lain sehingga ada beberapa ucapannya yang hinggap di telingaku. Aku mendengar pembicaraan yang baik. Dan aku berkata dalam diri sendiri:
"Celaka kamu wahai Thufail… engkau adalah seorang yang cerdas dan seorang penyair. Dan engkau dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Lalu apa yang menghalangimu untuk mendengar apa yang diucapkan orang ini. Jika yang dibawa olehnya adalah kebaikan maka akan aku terima, jika itu adalah keburukan maka akan aku tinggalkan.”
Thufail berkata: “Aku tinggal beberapa lama di Mekkah untuk mempelajari Islam dan aku selama itu aku menghapal beberapa ayat Alquran yang mudah bagiku. Begitu aku berniat kembali ke kampungku aku berkata: “Ya Rasulullah, aku adalah seseorang yang dipatuhi di keluargaku. Saat ini aku mau kembali kepada mereka dan menjadi penyeru mereka kepada Islam. Berdoalah kepada Allah agar ia memberikan aku sebuah tanda kekuasaan-Nya yang dapat menjadi penolongku dalam berdakwah kepada mereka. Maka Rasul langsung berdoa:
اللَّهُمَّ اجْعَلْ لَهُ آيَةً
“Ya Allah jadikanlah untuknya sebuah tanda kekuasaan.”
Aku pun mendatangi kaumku, sehingga jika aku tiba di sebuah tempat yang tinggi di sekitar rumah mereka maka turunlah sebuah cahaya di antara kedua mataku seolah sebuah lampu. Aku pun berdoa: “Ya Allah, jadikanlah ia bukan pada wajahku, sebab aku khawatir mereka menduga bahwa ini adalah hukuman yang ditimpakan ke wajahku karena aku meninggalkan agama mereka, maka cahaya tadi bergeser dan turun ke pegangan cambukku."
Maka para manusia yang ada saat itu mencoba untuk melihat cahaya tadi yang berada di cambukku seolah lampu yang tergantung. Dan aku datang menghampiri mereka dari lembah. Begitu aku turun ayah menghampiriku. Beliau saat itu sudah sangat renta. Aku berkata: “Kita sudah tidak berhubungan lagi. Aku bukan milikmu dan engkau bukan milikku.” Ia bertanya: “Mengapa begitu, wahai anakku?” Aku menjawab: “Aku telah masuk Islam dan mengikuti agama Muhammad ﷺ”
Ia berkata: “Duhai anakku, agamaku adalah agamamu.” Maka akupun berkata: “Kalau begitu, mandilah dan bersihkanlah pakaianmu. Lalu kemarilah agar aku mengajarkan apa yang pernah aku pelajari.” Lalu Beliau mandi dan membersihkan pakaiannya, kemudian Beliau dating menghampiriku sehingga aku paparkan Islam kepadanya dan ia pun memeluk Islam.
Kemudian istriku datang dan aku berkata kepadanya: “Kita sudah tidak berhubungan lagi. Aku bukan milikmu dan engkau bukan milikku.” Ia bertanya, “Mengapa demikian? Demi ibu dan bapakku.” Aku menjawab: “Islam telah memisahkan antara kita. Aku telah masuk Islam dan mengikuti agama Muhammad ﷺ.” Ia berkata: “Kalau begitu, agamaku adalah agamamu.” Aku berkata: “Bersucilah dengan air Dzu Syara!” Ia bertanya: “Demi ibu dan bapakku, apakah engkau tidak khawatir terkena musibah dari Dzu Syara?!” Aku menjawab: “Celaka kamu dan Dzu Syara, aku katakan kepadamu: pergilah dan mandilah di sana di tempat yang jauh dari pandangan manusia. Aku jamin pasti batu yang tuli itu tidak dapat melakukan apapun kepadamu.” Iapun berangkat dan mandi. Kemudian ia datang lagi dan aku paparkan Islam kepadanya sehingga iapun mau memeluknya.
Kemudian aku berdakwah kepada penduduk Daus namun mereka tidak menjawab dengan segera ajakan ini kecuali Abu Hurairah dan Beliau adalah manusia yang paling dulu masuk Islam dari mereka.”
Thufail berkata: “Aku mendatangi Rasulullah ﷺ di Mekkah dan aku mengajak Abu Hurairah saat itu. Nabi ﷺ bertanya kepadaku: “Apa yang ada di belakangmu wahai Thufail?” Aku menjawab: “Hati yang tertutup, dan kekafiran yang dahsyat. Di daerah Daus kefasikan dan kemaksiatan telah merajalela.” Lalu Rasulullah ﷺ berdiri, berwudhu lalu shalat dan ia mengangkatkan tangannya ke langit. Abu Hurairah berkata saat itu: “Ketika aku melihat Beliau melakukan hal itu aku khawatir Beliau mendo’akan kaumku sehingga mereka dapat binasa. Maka akupun berkata: “Ya kaumku.” Akan tetapi Rasulullah ﷺ berdoa:
اللَّهُمَّ اهْدِ دَوْسًا ، اللَّهُمَّ اهْدِ دَوْسًا ، اللَّهُمَّ اهْدِ دَوْسًا
“Ya Allah berilah petunjuk bagi kaum Daus. Ya Allah berilah petunjuk bagi kaum Daus. Ya Allah berilah petunjuk bagi kaum Daus.” Lalu Beliau menoleh ke arah Thufail seraya bersabda: “Kembalilah ke kaummu dan berlaku haluslah kepada mereka dan ajaklah mereka memeluk Islam!”
Thufail berkata: Aku masih saja terus berdakwah di daerah daus hingga Rasulullah ﷺ berhijrah ke Madinah. Meletuslah perang Badr,Uhud, dan Khandaq. Aku datang menghadap Nabi dengan membawa 80 kepala keluarga dari daerah Daus yang telah masuk Islam dan menjalankan keislamannya dengan baik. Rasulullah ﷺ menjadi gembira karenanya, dan Beliau membagikan kepada kami jatah ghanimah (harta rampasan perang) Khaibar. Lalu kami berkata: “Ya Rasulullah, jadikanlah kami pasukan tempur sisi kanan dalam setiap peperangan yang kau lakukan. Dan jadikanlah semboyan kami: “Mabrur”
Thufail masih berkisah: “Aku terus mendampingi Rasulullah ﷺ hingga Beliau menaklukkan Mekkah. Akupun berkata: “Ya Rasulullah, Kirimlah aku ke Dzul Kafain sebuah berhala milik ‘Amr bin Hamamah sehingga aku dapat membakarnya. Rasul pun mengizinkan Thufail untuk melakukan itu; dan ia berangkat menuju berhala itu dengan sebuah pasukan yang terdiri dari para kaumnya. Begitu ia sampai di sana dengan tekad bulat untuk membakar berhala itu. Rupanya banyak wanita, pria dan anak-anak yang menunggu datangnya musibah bagi diri Thufail. Mereka juga menunggu datangnya petir jika Thufail berani mendekat kepada Dzul Kafain. Akan tetapi Thufail terus mendekat ke arah berhala itu dengan disaksikan oleh para penyembah berhala, ia menyalakan api amarah di hatinya, seraya membacakan syair:
"Wahai Dzul Kafain aku bukanlah termasuk para penyembahmu Kami lahir lebih dahulu daripada dirimu Aku akan mengisi api dalam hatimu."
Seiring api melahap berhala tersebut, maka terlahap juga kemusyrikan yang ada di kabilah Daus. Seluruh kaumnya masuk ke dalam Islam dan mereka melaksanakan keislamannya dengan baik.
Pahlawan yang sejati adalah dia yang bisa melepaskan semua ikatan kesyirikan dan menyembah hanya kepada Allah. Itulah yang dididik oleh Rasulullah ﷺ sehingga ia bisa menjadi seorang yang taat kepada Allah.
Tauhid harus didahulukan. Namun jangan kaget ketika kita mengajak orang untuk mentauhidkan Allah, maka banyak yang menolak. Tapi teruslah sampaikan, karena apa yang berasal dari Nabi ﷺ, maka itu yang terbaik untuk kita.
Thufail wafat sebagai syahid di dalam peperangan Al Yamamah. Sedangkan anaknya yang bernama ‘Amr masih terus berperang sehingga sekujur tubuhnya penuh dengan luka dan telapak tangan kanannya putus. Ia pun kembali ke Madinah dari Al Yamamah tanpa ayah dan telapak tangannya.
----------
[SESI 2]
Ustadz Ahmad Rasyid Bazher hafizhahullah
Pahlawan - Mush'ab bin Umair radhiyallahu 'anhu
Jika kita bicara tentang Pahlawan Islam, terutama dari kalangan para Sahabat radhiyallahu 'anhuma, maka perlu banyak waktu untuk membahasnya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yaitu generasi sahabat), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yaitu generasi tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yaitu generasi tabi’ut tabi’in)" (HR. Bukhari)
Mush'ab bin Umair radhiyallahu 'anhu
Beliau adalah seorang Sahabat yang terkenal sebagai da'i pertama yang diutus Nabi ﷺ ke Yatsrib atau yang dikenal sebagai Madinah.
"Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Alquran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman." (QS. Yusuf : 111)
Imam Abu Hanifah berkata:
"Kisah para ulama, duduk bersama mereka lebih aku sukai daripada mempelajari Bab masalah Fiqih, karena dalam kisah-kisah mereka diajarkan adab dan akhlaq"
Nama lengkap Mush'ab bin Umair adalah Mush'ab bin Umair bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Abdid-dar, bin Qushai. Nasab beliau bertemu dengan Nabi Muhammad ﷺ pada Qushai.
Mush'ab bin Umair memiliki gelar Al-Khayr, yang artinya adalah kebaikan. Sebelum masuk ke dalam Islam pun beliau adalah orang yang sangat baik.
Ibunya bernama Khinas binti Malik. Salah satu saudaranya dan dia tidak masuk Islam bernama Abu Aziz bin Umair.
Mush'ab bin Umair memiliki istri bernama Hamnah bin Jahsyi, yaitu saudaranya Zaenab. Hamnah adalah anak dari Umainah Binti Abdul Muthalib.
Mush'ab bin Umair adalah pemuda yang tampan dan memukau penampilannya. Orang tuanya adalah orang tua yang kaya raya sehingga Mush'ab didukung penampilannya. Dia adalah pemuda yang paling harum di kota Mekkah.
Rasulullah ﷺ bersabda tentang Mush'ab
“Aku tidak pernah melihat seorang pun di Mekkah yang lebih rapi rambutnya, paling bagus pakaiannya, dan paling banyak diberi kenikmatan selain dari Mush’ab bin Umair.” (HR. Hakim).
Karena begitu dimanjakan oleh Ibunya, tersaji makanan di hadapannya ketika beliau bangun tidur.
Mush'ab bin Umair masuk Islam tahun ke-5 kenabian.
Mush'ab datang ke kajian Majelis Nabi ﷺ yang berada di Darul Arqam. Rumahnya disiapkan untuk mendidik Sahabatnya, letaknya di dekat Bukit Shofwa.
Arqam adalah putra dari Abdu Manaf bin Asad bin Abdullah yang dipanggil (kunyah) Abu al-Arqam. Ibunya bernama Umaimah binti al-Harits bin Hibalah. Ayahnya adalah orang yang cukup terpandang dari kalangan Quraisy Bani Makhzum dan masih satu kabilah dengan Abu Jahal.
Ketika Mush'ab mendengar dakwah Tauhid, Allah memberikan hidayah kepadanya. Beliau menyembunyikan keislamannya di awal masuk Islam.
Mengetahui putra kesayangannya meninggalkan agama nenek moyang, ibu Mush’ab kecewa bukan kepalang. Ibunya mengancam bahwa ia tidak akan makan dan minum serta terus beridiri tanpa naungan, baik di siang yang terik atau di malam yang dingin, sampai Mush’ab meninggalkan agamanya. Saudara Mush’ab, Abu Aziz bin Umair, tidak tega mendengar apa yang akan dilakukan sang ibu. Lalu ia berujar, “Wahai ibu, biarkanlah ia. Sesungguhnya ia adalah seseorang yang terbiasa dengan kenikmatan. Kalau ia dibiarkan dalam keadaan lapar, pasti dia akan meninggalkan agamanya”. Mush’ab pun ditangkap oleh keluarganya dan dikurung di tempat mereka.
Banyak orang yang ketika hijrah, ketika Allah berikan masalah ekonomi, mereka kembali lagi pada kemaksiatan.
Hari demi hari, siksaan yang dialami Mush’ab kian bertambah. Tidak hanya diisolasi dari pergaulannya, Mush’ab juga mendapat siksaan secara fisik. Ibunya yang dulu sangat menyayanginya, kini tega melakukan penyiksaan terhadapnya. Warna kulitnya berubah karena luka-luka siksa yang menderanya. Tubuhnya yang dulu berisi, mulai terlihat mengurus.
Saad bin Abi Waqqash radhiayallahu ‘anhu berkata, “Dahulu saat bersama orang tuanya, Mush’ab bin Umair adalah pemuda Mekkah yang paling harum. Ketika ia mengalami apa yang kami alami (intimidasi), keadaannya pun berubah. Kulihat kulitnya pecah-pecah mengelupas dan ia merasa tertatih-taih karena hal itu sampai-sampai tidak mampu berjalan. Kami ulurkan busur-busur kami, lalu kami papah dia.” (Siyar Salafus Shaleh oleh Ismail Muhammad Ashbahani, Hal: 659).
Zubair bin al-Awwam radhiyallahu 'anhu mengatakan, “Suatu ketika Rasulullah ﷺ sedang duduk dengan para sahabatnya di Masjid Quba, lalu muncullah Mush’ab bin Umair dengan kain burdah (jenis kain yang kasar) yang tidak menutupi tubuhnya secara utuh. Orang-orang pun menunduk. Lalu ia mendekat dan mengucapkan salam. Mereka menjawab salamnya. Lalu Nabi ﷺ memuji dan mengatakan hal yang baik-baik tentangnya. Dan beliau bersabda, “Sungguh aku melihat Mush’ab tatkala bersama kedua orang tuanya di Mekkah. Keduanya memuliakan dia dan memberinya berbagai macam fasilitas dan kenikmatan. Tidak ada pemuda-pemuda Quraisy yang semisal dengan dirinya. Setelah itu, ia tinggalkan semua itu demi menggapai ridha Allah dan menolong RasulNya…” (HR. Hakim No. 6640).
Rasulullah ﷺ bersabda:
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ
“Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi peduli dari mana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari No. 2083)
Mush'ab bin Umair radhiyallahu 'anhu menjual dunianya untuk mendapatkan akhiratnya.
Demikianlah perubahan keadaan Mush’ab ketika ia memeluk Islam. Ia mengalami penderitaan secara materi. Kenikmatan-kenikmatan materi yang biasa ia rasakan tidak lagi ia rasakan ketika memeluk Islam. Bahkan sampai ia tidak mendapatkan pakaian yang layak untuk dirinya. Ia juga mengalami penyiksaan secara fisik sehingga kulit-kulitnya mengelupas dan tubuhnya menderita. Penderitaan yang ia alami juga ditambah lagi dengan siksaan perasaan ketika ia melihat ibunya yang sangat ia cintai memotong rambutnya, tidak makan dan minum, kemudian berjemur di tengah teriknya matahari agar sang anak keluar dari agamanya. Semua yang ia alami tidak membuatnya goyah. Ia tetap teguh dengan keimanannya.
Mush’ab bin Umair adalah salah seorang sahabat nabi yang utama. Ia memiliki ilmu yang mendalam dan kecerdasan sehingga Nabi ﷺ mengutusnya untuk mendakwahi penduduk Yatsrib, Madinah.
Saat datang di Madinah, Mush’ab tinggal di tempat As’ad bin Zurarah. Di sana ia mengajrkan dan mendakwahkan Islam kepada penduduk negeri tersebut, termasuk tokoh utama di Madinah semisal Saad bin Muadz. Dalam waktu yang singkat, sebagian besar penduduk Madinah pun memeluk agama Allah ini. Hal ini menunjukkan setelah taufiq dari Allah akan kedalaman ilmu Mush’ab bin Umair dan pemahamanannya yang bagus terhadap Alquran dan sunnah, baiknya cara penyampaiannya dan kecerdasannya dalam berargumentasi, serta jiwanya yang tenang dan tidak terburu-buru.
Hal tersebut sangat terlihat ketika Mush’ab berhadap dengan Sa'ad bin Muadz. Setelah berhasil mengislamkan Usaid bin Hudair, Mush’ab berangkat menuju Sa'ad bin Muadz. Mush’ab berkata kepada Sa'ad, “Bagaimana kiranya kalau engkau duduk dan mendengar apa yang hendak aku sampaikan? Jika engkau ridho dengan apa yang aku ucapkan, maka terimalah. Seandainya engkau membencinya, maka aku akan pergi”. Saad menjawab, “Ya, yang demikian itu lebih bijak”. Mush’ab pun menjelaskan kepada Saad apa itu Islam, lalu membacakannya Alquran.
Sa'ad memiliki kesan yang mendalam terhadap Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu dan apa yang ia ucapkan. Kata Sa'ad, “Demi Allah, dari wajahnya, sungguh kami telah mengetahui kemuliaan Islam sebelum ia berbicara tentang Islam, tentang kemuliaan dan kemudahannya”. Kemudian Sa'ad berkata, “Apa yang harus kami perbuat jika kami hendak memeluk Islam?” “Mandilah, bersihkan pakaianmu, ucapkan dua kalimat syahadat, kemudian shalatlah dua rakaat”. Jawab Mush’ab. Sa'ad pun melakukan apa yang diperintahkan Mush’ab.
Setelah itu, Sa'ad berdiri dan berkata kepada kaumnya, “Wahai Bani Abdu Asyhal, apa yang kalian ketahui tentang kedudukanku di sisi kalian?” Mereka menjawab, “Engkau adalah pemuka kami, orang yang paling bagus pandangannya, dan paling lurus tabiatnya”.
Lalu Sa'ad mengucapkan kalimat yang luar biasa, yang menunjukkan begitu besarnya wibawanya di sisi kaumnya dan begitu kuatnya pengaruhnya bagi mereka, Sa'ad berkata, “Haram bagi laki-laki dan perempuan di antara kalian berbicara kepadaku sampai ia beriman kepada Allah dan RasulNya!”
Tidak sampai sore hari seluruh kaumnya pun beriman kecuali Ushairim.
Karena taufiq dari Allah kemudian buah dakwah Mush’ab, Madinah pun menjadi tempat pilihan Nabi ﷺ dan para sahabatnya hijrah. Dan kemudian kota itu dikenal dengan Kota Nabi Muhammad (Madinah an-Nabawiyah).
Mush’ab bin Umair adalah pemegang bendera Islam di peperangan. Pada Perang Uhud, ia mendapat tugas serupa. Muhammad bin Syarahbil mengisahkan akhir hayat sahabat yang mulia ini. Ia berkata:
Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu membawa bendera perang di medan Uhud. Lalu datang penunggang kuda dari pasukan musyrik yang bernama Ibnu Qumai-ah al-Laitsi (yang mengira bahwa Mush’ab adalah Rasulullah), lalu ia menebas tangan kanan Mush’ab dan terputuslah tangan kanannya. Lalu Mush’ab membaca ayat:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.” (QS. Ali Imran: 144).
Bendera pun ia pegang dengan tangan kirinya. Lalu Ibnu Qumai-ah datang kembali dan menebas tangan kirinya hingga terputus. Mush’ab mendekap bendera tersebut di dadanya sambal membaca ayat yang sama:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.” (QS. Ali Imran: 144).
Kemudian anak panah merobohkannya dan terjatuhlah bendera tersebut. Setelah Mush’ab gugur, Rasulullah menyerahkan bendera pasukan kepada Ali bin Abi Thalib (Ibnu Ishaq, Hal: 329).
Lalu Ibnu Qumai-ah kembali ke pasukan kafir Quraisy, ia berkata, “Aku telah membunuh Muhammad”.
Setelah perang usai, Rasulullah ﷺ memeriksa sahabat-sahabatnya yang gugur. Abu Hurairah mengisahkan, “Setelah Perang Uhud usai, Rasulullah ﷺ mencari sahabat-sahabatnya yang gugur. Saat melihat jasad Mush’ab bin Umair yang syahid dengan keadaan yang menyedihkan, beliau berhenti, lalu mendoakan kebaikan untuknya. Kemudian beliau membaca ayat:
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ ۖ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَىٰ نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ ۖ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya).” (QS. Al-Ahzab: 23).
Kemudian beliau mempersaksikan bahwa sahabat-sahabatnya yang gugur adalah syuhada di sisi Allah.
Setelah itu, beliau berkata kepada jasad Mush’ab, “Sungguh aku melihatmu ketika di Mekkah, tidak ada seorang pun yang lebih baik pakaiannya dan rapi penampilannya daripada engkau. Dan sekarang rambutmu kusut dan (pakaianmu) kain burdah.”
Tak sehelai pun kain untuk kafan yang menutupi jasadnya kecuali sehelai burdah. Andainya ditaruh di atas kepalanya, terbukalah kedua kakinya. Sebaliknya, bila ditutupkan ke kakinya, terbukalah kepalanya. Sehingga Rasulullah bersabda, “Tutupkanlah kebagian kepalanya, dan kakinya tutupilah dengan rumput idkhir.”
Mush’ab wafat setelah 32 bulan hijrahnya Nabi ke Madinah. Saat itu usianya 40 tahun.
Di masa kemudian, setelah umat Islam jaya, Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu yang sedang dihidangkan makanan mengenang Mush’ab bin Umair. Ia berkata, “Mush’ab bin Umair telah wafat terbunuh, dan dia lebih baik dariku. Tidak ada kain yang menutupi jasadnya kecuali sehelai burdah”. (HR. Bukhari No. 1273). Abdurrahman bin Auf pun menangis dan tidak sanggup menyantap makanan yang dihidangkan.
Khabab berkata mengenang Mush’ab, “Ia terbunuh di Perang Uhud. Ia hanya meninggalkan pakaian wool bergaris-garis (untuk kafannya). Kalau kami tutupkan kain itu di kepalanya, maka kakinya terbuka. Jika kami tarik ke kakinya, maka kepalanya terbuka. Rasulullah pun memerintahkan kami agar menarik kain ke arah kepalanya dan menutupi kakinya dengan rumput idkhir…” (HR. Bukhari No. 3897).
Pahlawan sesungguhnya adalah dia memberikan banyak kebaikan bagi kaum Muslimin dengan Tauhid sehingga mendekatkan diri kepada Allah. Itulah yang harus menjadi panutan bagi kita.
Sulaiman bin Harb telah menyampaikan kepada kami, dia mengatakan, ‘Kami diberitahu oleh Hammad bin Zaid dari Tsabit dari Anas radhiyallahu 'anhu, dia mengatakan bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang hari kiamat. Orang itu mengatakan, ‘Kapankah hari kiamat itu?’ Rasulullah ﷺ balik bertanya, ’Apa yang telah engkau persiapkan untuk hari itu?’ Orang itu menjawab, ‘Tidak ada, hanya saja sesungguhnya saya mencintai Allah Azza wa Jalla dan RasulNya ﷺ.’ Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.’
Anas radhiyallahu 'anhu mengatakan, “Kami tidak pernah merasakan kebahagiaan sebagaimana kebahagiaan kami ketika mendengar sabda Rasulullah ﷺ, ‘Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.’
Anas Radhiyallahu anhu mengatakan, "Aku mencintai Nabi ﷺ, Abu Bakr dan Umar. Aku berharap bisa bersama mereka dengan sebab kecintaanku kepada mereka meskipun saya tidak mampu melakukan amalan yang mereka lakukan." (HR. Bukhari)
No comments:
Post a Comment