Kajian Jumat
Bahagia dengan Sunnah Nabi ﷺ
Oleh: Ustadz Ariful Bahri hafizhahullah
Masjid Al Hikmah, Pondok Labu, Jakarta Selatan
Sabtu, 26 Jumadil Akhir 1446 / 28 Des 2024
Rasulullah ﷺ tidaklah wafat melainkan beliau telah meninggalkan syariat yang sempurna, di mana sudah tidak diperlukan lagi penambahan atau pengurangan di dalamnya.
Ibadah haji diwajibkan sejak zaman Nabi Ibrahim 'alayhissalam, tapi bagi kaum Muslimin, ibadah haji diwajibkan pada 9 Hijriyyah.
Nabi ﷺ mengajar sesuai kebutuhan umatnya. Nabi ﷺ setelah shalat Subuh berkeliling di rumah keluarganya sekitar Masjid Nabawi. Kemudian Nabi ﷺ kembali lagi ke masjid untuk mengajarkan para Sahabatnya ilmu agama.
Nabi ﷺ tidak bisa melaksanakan haji pada 9 Hijriyyah, padahal itu sudah diwajibkan dengan beberapa alasan:
1. Nabi ﷺ masih disibukkan dengan mengajarkan ilmu agama kepada para Sahabat
2. Haji masih bercampur dengan tradisi orang-orang Jahiliyyah.
3.
Dalam syariat, yang dinilai bukanlah tujuannya, melainkan yang dinilai adalah perkara amalan yang zhahir. Dari situlah keluar perkataan Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu,
“Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tidak mendapatkannya”.
Salman Al Farisi radhiyallahu 'anhu berkata:
إِنَّ الْأَرْضَ لَا تُقَدِّسُ أَحَدًا وَإِنَّمَا يُقَدِّسُ الْإِنْسَانَ عَمَلُهُ
"Sesungguhnya tanah suci tidak mensucikan siapapun. Yang mensucikan manusia adalah amalannya”. (Riwayat Imam Malik, 2/796)
Di antara Sunnah yang Nabi ﷺ tinggalkan adalah keluarga beliau, di antaranya adalah cucu-cucu Nabi Muhammad ﷺ ada 8 orang, yaitu:
1. Ali bin Abul 'Ash (Anak dari: Zainab binti Muhammad dan Abu al-Ash)
2. Umamah binti Abul ‘Ash bin Rabii’ bin Abdu al-Uzza bin Abdu asy-Syams bin Abdu Manaf bin Qushay (Anak dari: Zainab binti Muhammad dan Abu al-Ash)
3. Abdullah bin Utsman (anak dari: Utsman bin Affan dan Ruqayyah)
4. Hasan bin Ali (anak dari: Ali bin Abu Thalib dan Fatimah)
5. Husain bin Ali (anak dari: Ali bin Abu Thalib dan Fatimah)
6. Zainab binti Ali (anak dari: Ali bin Abi Thalib dan Fatimah)
7. Ummu Kultsum binti Ali (anak dari: Ali bin Abi Thalib dan Fatimah)
8. Muhsin bin Ali (anak dari: Ali bin Abi Thalib dan Fatimah)
Kuffah adalah markas ilmu agama, tempat para ulama mempelajari ilmu Fiqih.
Sunnah Nabi ﷺ adalah cari Nabi ﷺ dalam beragama.
Abu Musa Al As’ari radhiyallahu ‘anhu memasuki masjid Kufah, lalu didapatinya di masjid tersebut terdapat sejumlah orang membentuk halaqah-halaqah (duduk berkeliling). Pada setiap halaqah terdapat seorang Syaikh, dan di depan mereka ada tumpukan kerikil, lalu Syaikh tersebut menyuruh mereka (yang duduk di halaqah): “Bertasbihlah (ucapkan subhanallah) seratus kali!”, lalu mereka pun bertasbih (menghitung) dengan kerikil tersebut. Lalu Syaikh itu berkata kepada mereka lagi : “Bertahmidlah (ucapkan alhamdulillah) seratus kali!” dan demikianlah seterusnya.
Maka Abu Musa radhiyallahu ‘anhu mengingkari hal itu dalam hatinya dan ia tidak mengingkari dengan lisannya. Hanya saja ia bersegera pergi dengan berlari kecil menuju rumah Abdullah bin Mas’ud, lalu dia pun mengucapkan salam kepada Abdullah bin Mas’ud, dan Abdullah bin Mas’ud pun membalas salamnya. Berkatalah Abu Musa kepada Abu Mas’ud: “Wahai Abu Abdurrahman, sungguh baru saja saya memasuki masjid, lalu aku melihat sesuatu yang aku mengingkarinya, demi Allah tidaklah saya melihat melainkan kebaikan. Lalu Abu Musa menceritakan keadaan halaqah dzikir tersebut.
Maka berkatalah Abu Mas’ud kepada Abu Musa: “Apakah engkau memerintahkan mereka untuk menghitung kejelekan-kejelekan mereka? Dan engkau memberi jaminan mereka bahwa kebaikan-kebaikan mereka tidak akan hilang sedikitpun?!” Abu Musa pun menjawab: “Aku tidak memerintahkan suatu apapun kepada mereka”. Berkatalah Abu Mas’ud: “Mari kita pergi menuju mereka”.
Lalu Abu Mas’ud mengucapkan salam kepada mereka. Dan mereka membalas salamnya. Berkatalah Ibnu Mas’ud: "Perbuatan apa yang aku lihat kalian melakukannya ini wahai Umat Muhammad?” Mereka menjawab: “Wahai Abu Abdurrahman, ini adalah kerikil yang digunakan untuk menghitung tasbih, tahmid, dan tahlil, dan takbir”. Maka berkatalah Abu Mas’ud: “Alangkah cepatnya kalian binasa wahai Umat Muhammad, (padahal) para sahabat masih banyak yang hidup, dan ini pakaiannya belum rusak sama sekali, dan ini bejananya belum pecah, ataukah kalian ingin berada di atas agama yang lebih mendapat petunjuk dari agama Muhammad? ataukah kalian telah membuka pintu kesesatan? Mereka pun menjawab: “Wahai Abu Abdurrahman, demi Allah tidaklah kami menginginkan melainkan kebaikan”. Abu Mas’ud pun berkata:
“Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tidak mendapatkannya”.
Berkata Amru bin Salamah: “Sungguh aku telah melihat umumnya mereka yang mengadakan majelis dzikir itu memerangi kita pada hari perang “An Nahrawan” bersama kaum Khawarij” (HR. Ad-Darimi)
Kisah di atas adalah awal mula munculnya kaum Khawarij. Mereka membungkus penyimpangannya dengan ibadah.
Said bin Musayyib, Uwais Al Qorni adalah pemimpin para Tabi'in.
Said bin Musayyib jalurnya dari kalangan ulama. Uwais Al Qorni dari jalur ahli ibadah yang diridhoi oleh Allah.
Orang yang berilmu dalam beribadah, walau ibadahnya sedikit lebih banyak mendapatkan pahala di sisi Allah daripada orang yang banyak beribadah tapi tidak dilandaskan dengan ilmu yang shahih.
Di dalam agama, tidak dianjurkan untuk menjadi orang yang selalu duduk di dalam masjid. Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang dilakukan secara berkelanjutan walau sedikit. Islam tidak memuji orang yang banyak ibadahnya, tetapi yang dipuji adalah kualitasnya.
Kaum Khawarij banyak bermunculan di masa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, dan mereka tidak suka dengan kepemimpinan Ali. Abdullah bin Abbas meminta izin kepada Ali untuk berdialog kepada Khawarij.
Ketika kaum Haruriyyah (Khawarij) memberontak, mereka berkumpul di suatu daerah, mereka berjumlah 6 ribu orang.
Maka aku mendatangi ‘Ali, lalu berkata: “Wahai Amirul Mu’minin, tundalah shalat zhuhur hingga matahari tidak terlalu panas, agar aku bisa mendatangi mereka lalu berbicara dengan mereka (kaum Khawarij)”.
Ali berkata: “Aku mengkhawatirkan (keselamatan)mu”.
Aku berkata: “Tidak perlu khawatir”.
Ibnu ‘Abbas berkata: Lalu aku keluar menuju mereka, dan aku memakai pakaian terbagus buatan Yaman.
Abu Zumail berkata: Ibnu ‘Abbas adalah seorang yang tampan dan bersuara lantang.
Ibnu ‘Abbas berkata: Kemudian aku mendatangi mereka, mereka berkumpul di rumah mereka, mereka sedang beristirahat di tengah hari. Aku mengucapkan salam kepada mereka, lalu mereka berkata: “Marhaban bik (selamat datang) wahai Ibnu ‘Abbas, pakaian apa ini?”
Ibnu ‘Abbas berkata: Aku menjawab: “Apa yang kamu mencelaku, sungguh aku telah melihat pakaian terbagus pada Rasulullah ﷺ!”
Dan telah turun (firman Allah Ta’ala): Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah Dia keluarkan untuk hamba-hambaNya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki-rezeki yang baik?” (QS. Al-A’raaf : 32)
Mereka berkata: “Apa yang membuatmu datang ke sini?”. Aku berkata: “Aku datang kepada kamu dari sisi para sahabat Nabi ﷺ, yaitu Muhajirin dan Anshar, untuk menyampaikan perkataan mereka, mereka adalah orang-orang yang telah diberi tahu dengan apa yang mereka katakan. Alquran turun kepada mereka, dan mereka lebih mengetahui wahyu daripada kamu. Dan Alquran diturunkan tentang mereka. Dan tidak ada salah seorang pun dari kalian yang termasuk sahabat Nabi.
Lalu sebagian dari mereka berkata: “Kamu jangan berdebat dengan Quraisy, karena Allah berfirman: “Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.”(QS. Az-Zukhruf : 58)
Abdullah bin Abbas datang memakai pakaian Rasulullah ﷺ menemui orang-orang Khawarij.
Alasan orang-orang Khawarij membenci Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu adalah karena Ali bin Abi Thalib tidak mengambil harta rampasan perang ketika perang Jamal.
Kaum Khawarij adalah firqah (golongan) pertama yang menyimpang dalam sejarah Islam. Mereka dikenal ahli ibadah, namun memiliki pemikiran yang melewati batas.
Di antara aqidah kaum khawarij adalah menganggap kafir kaum muslimin yang melakukan dosa besar, dan meyakini bahwa mereka kekal di neraka. Demikian ciri khas kaum Khawarij, yaitu terlalu mudah memvonis kafir kepada seorang Muslim. Bahkan di zaman Ali bin Abi Thalib dahulu, mereka mengkafirkan Ali bin Abi Thalib yang menjadi khalifah dan juga mengkafirkan kaum muslimin yang tidak setuju dengan pendapat mereka.
Nabi ﷺ tidaklah menginginkan kepada umatnya kecuali yang terbaik. Sunnah Nabi ﷺ adalah yang terbaik. Jika kita mau jujur, maka kita tidak akan mampu menjalankan Sunnah Nabi ﷺ. Cukupkan dengan Sunnah Nabi ﷺ. Tidak perlu melakukan amalan-amalan yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi ﷺ.
No comments:
Post a Comment