Friday, 3 January 2025

Kajian Jumat: Larangan Bersikap Abu-abu dalam Aqidah // Ustadz Mohamad Nursamsul Qamar hafizhahullah

Kajian Jumat
Kitab Ushulus-Sunnah karya Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah
Larangan Bersikap Abu-abu dalam Aqidah
Oleh: Ustadz Mohamad Nursamsul Qamar hafizhahullah
Masjid Nurul Iman, Blok M Square, Jakarta Selatan
Jumat, 3 Rajab 1446 / 3 Jan 2025

“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (QS. At Taubah : 6)

Firman adalah Allah berbicara yang didengar oleh Jibril, dan inilah Alquran, yang kemudian oleh Jibril disampaikan kepada Nabi Muhammad ﷺ. Ditulis oleh para Sahabat, lalu diajarkan kepada Tabi'in, kemudian kepada Tabiut Tabi'in, hingga sampai kepada kita dan terus sampai hari Kiamat kelak.

Namun ada sebagian orang memiliki pemahaman yang salah tentang firman Allah. Ada yang mengatakan bahwa Alquran adalah makhluk.

Ketika Allah berbicara, bukanlah menjadi suatu objek yang dipegang oleh Jibril. Allah berbicara dengan kata-kata dan suara yang didengar oleh Jibril.

"Dan Kami telah memanggilnya dari sebelah kanan gunung Thur dan Kami telah mendekatkannya kepada Kami di waktu dia munajat (kepada Kami)."  (QS. Maryam : 52)

Ahlussunnah ketika menetapkan Aqidah, maka tidaklah mereka menetapkan sesuatu melainkan dengan dalil.

Suara yang didengar oleh makhlukNya bukanlah makhluk, karena suara Allah adalah sifat Allah. Setiap yang ada pada Allah adalah sifat-sifatNya.

"Allah adalah pencipta segala sesuatu dan Dia Maha Pemelihara atas segala sesuatu" (QS. Az-Zumar : 62)

Segala sesuatu selain Allah, maka itu adalah makhluk. Sedangkan selain makhluk, maka itu adalah Allah.

Imam Ahmad rahimahullah berkata:
"Dan berhati-hatilah engkau dari berdebat dengan orang yang mencari celah, menanamkan keraguan, dan memberikan syubhat kepada kaum Muslimin, dan mereka adalah pelaku bid'ah."

Kelompok yang mengatakan bahwasanya lafadz Alquran yang aku ucapkan adalah makhluk, mereka bisa menjadi Jahmiyyah atau Asy'ariyyah.

Ahlussunnah dahulu menetapkan bahwasanya Alquran adalah Kalamullah. Namun ketika muncul Ahlul Bid'ah, mereka merusaknya.

Orang yang mengatakan bahwasanya Alquran adalah makhluk secara mutlak, maka mereka adalah Jahmiyyah.

Sedangkan orang yang mengatakan bahwasanya Alquran maknanya dari Allah, tapi lafadznya adalah makhluk, mereka adalah Asy'ariyyah.

Alquran ini, yang Allah ucapkan, dihapal di dalam hati, dibaca dengan lisan, dan ditulis di atas kertas menggunakan pena.

Suara yang kalian dengarkan dari yang membacanya adalah suara makhluk. Yang kalian lihat berupa tinta adalah makhluk. Kertas yang dipakai untuk menulis pun makhluk. Kecuali apa yang tertulis di dalamnya bukanlah makhluk.

Seseorang tidak boleh mengatakan bahwasanya Alquran adalah makhluk. Tidak boleh abu-abu, atau tidak tahu apakah Alquran itu makhluk atau bukan. Itulah keyakinan Ahlussunnah.

Orang-orang yang mengatakan bahwasanya dia tidak mengetahui apakah Alquran itu makhluk atau bukan, maka ini terlarang.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): "Raa'ina", tetapi katakanlah: "Unzhurna", dan "dengarlah". Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih." (QS. Al Baqarah : 104)

Allah melarang orang-orang beriman berkata kepada Nabi (راعنا) “perhatikanlah perkataanku”, dan Allah memerintahkan mereka untuk menggantinya dengan kalimat (انظرنا) “perhatikanlah kami”. Hal ini karena orang-orang Yahudi jika mengatakan (راعنا) maka yang mereka maksud adalah hinaan yang menjurus kepada sifat kedunguan. Sungguh bagi orang-orang yang mendustakan Allah dan rasulNya adzab yang pedih.

Alquran adalah Kalamullah dan sama sekali bukan makhluk. Kita tidak boleh ragu di dalam perkara keimanan, aqidah, atau prinsip. Misalnya tentang amalan, maka kita harus mengatakan bahwasanya amalan adalah bagian dari keimanan.
-----------------
Ahlussunnah meyakini bahwasanya Allah di hari Kiamat kelak akan dilihat oleh kaum Mukminin. Bahwasanya Rasulullah ﷺ telah melihat Allah.

Apakah Rasulullah ﷺ melihat Allah ketika Isra Mi'raj? Ini adalah khilaf, termasuk perbedaan pendapat antara Aisyah dengan Ibnu Abbas. Namun tidak ada perbedaan bahwasanya penduduk surga akan melihat Allah.

Allah memiliki hijab atau penghalang dengan hamba-hambaNya.

Adapun orang-orang seperti Mu'tazilah, mereka mengatakan bahwa penduduk surga tidak bisa melihat Allah. Mereka tidak meyakininya bahwa Allah juga akan berbicara dengan penduduk surga.

"Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri (indah). Kepada Rabbnyalah mereka melihat." (QS. Al-Qiyamah : 22-23)

Mereka tidak bisa menetapkan penduduk surga bisa melihat Allah, karena itu menyelisihi keyakinan mereka. Bagi mereka, sifat bagi Allah harus qodim, yaitu tidak boleh didahului oleh ketiadaan.

Akal manusia tidak pernah membenarkan bahwa sesuatu itu ada tanpa ada yang mengadakannya. Itu adalah fitrah.

Ahlussunnah menetapkan bahwa Allah berbicara sejak dahulu, dan Allah memperbarui pembicaraannya kapan Dia menghendakinya. Ketika Allah menciptakan, Allah bisa memperbarui penciptaannya kapanpun Dia menghendaki.

"Dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris." (QS. Al Fajr : 22)

Bersyukurlah ketika kita berada Aqidah Ahlussunnah. Maka tidak akan ada kontradiksi di dalamnya.

"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya." (QS. An Nisaa : 82)

Terkadang suatu pembahasan memerlukan kesiapan dari seorang penuntut ilmu.

Imam Syafi'i ketika datang belajar kepada Imam Malik, beliau sudah menghapal Kitab Muwatho' karya Imam Malik. Maka Imam Syafi'i sudah siap untuk belajar.

Seseorang jika diberikan waktu 1000 tahun dan seluruh usianya hanya digunakan untuk belajar, maka dia tidak akan bisa meliputi ilmu-ilmu Allah. Lalu bagaimana dengan usia kita yang hanya berusia 60-70 tahun, apalagi kita disibukkan dengan dunia?

Maka sebagai penuntut ilmu, kita berusaha untuk selalu memanfaatkan waktu untuk mempelajari ilmu dan menguasainya.

Setelah kita dimudahkan untuk datang ke majelis ilmu, maka kita harus perhatikan adab-adab dalam menuntut ilmu dan sebagai penuntut ilmu.

Dahulu para ulama mempelajari adab sama seperti mereka menghapal Alquran dan Hadits.

Mengapa pelaku bid'ah melakukan kebid'ahan, padahal agama ini sudah sempurna?

"Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman." (QS. Al An'am : 125)

Mereka tidak mau berjalan di atas sesuatu yang lurus, karena bagi mereka itu terlalu umum, sehingga mereka mencari jalan lain dan berharap menuju ke arah tujuan yang sama.

"Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran." (QS. Al Baqarah : 109)

Mereka hasad, karena mereka sudah lama menantikan nabi dan rasul terakhir datang dari bani Israil, tetapi Allah menetapkan nabi dan rasul terakhir berasal dari bani Ismail. Oleh karena itu Ahli kitab ingin merusak Islam dari dalam dan dari luar.

No comments:

Post a Comment