Anak: Karunia, Titipan, atau Beban
Oleh: Ustadz Ali Hasan Bawazier hafizhahullah
Masjid Agung Al Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
Rabu, 28 Muharram 1447 / 23 Juli 2025
Kita bersyukur kepada Allah, yang begitu luas rahmatNya bagi kita semua. Kita bersyukur atas nikmat teragung dan terbesar, dan akan semakin besar ketika seorang hamba mendalami nikmat ini, yaitu nikmat Islam.
Nikmat ini adalah nikmat terbesar yang Allah anugerahkan kepada kita di kehidupan dunia. Dengan nikmat ini kita mengenal Allah. Dengan nikmat ini kita tahu apa tujuan hidup kita. Dengan nikmat ini kita mengetahui pilihan apa yang harus kita pilih ketika kita menjalani hidup.
Semakin berjalan waktu, semakin bertambah usia seseorang, semakin dia menyadari bahwa ternyata hidup ini penuh dengan pilihan-pilihan, yang artinya penuh dengan ujian-ujian. Seringkali dia salah pilih, karena dia tidak memiliki landasan ilmu, apa yang harus ditempuh di setiap persimpangan jalan hidupnya. Karena hal ini yang membuat tidak sedikit dari kita membuat filosofi-filosofi baru yang sangat bertentangan dengan yang semestinya, yaitu bagaimana dia menjalani hidup sesuai arahan yang menciptakan dirinya.
Banyak orang beranggapan bahwa anak hanya menjadi beban, kemudian banyak pasangan yang memutuskan untuk free child, tidak mau punya anak. Pemikiran ini karena tidak pahamnya mereka tentang kehidupan, mereka tidak memahami tujuan hidup.
Setiap orang yang beriman kepada Allah pasti menyadari bahwa kehidupan bukan hanya kehidupan dunia saja. Namun bagi mereka yang tidak beriman, mereka merasakan bahwa kehidupan hanya di dunia. Tidak beriman di sini juga termasuk bagi setiap muslim yang tidak mengamalkan ajaran agamanya, karena lemahnya iman yang ada pada dirinya membuat dia tidak sadar bahwa apa yang dia jalanin bukanlah realita yang seharusnya dia jalani.
أَلْهَىٰكُمُ ٱلتَّكَاثُرُ ١ حَتَّىٰ زُرْتُمُ ٱلْمَقَابِرَ ٢
"Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur." (QS. At Takatsuur : 1-2)
Orang yang sibuk memperbanyak sesuatu daripada mengingat Allah, dari berorientasi akhirat di dalam kehidupan dunianya, dia telah dilalaikan, sehingga fokusnya dibelokkan dari tujuan yang semestinya sampai dia mati, masuk ke dalam kuburan.
Allah juga menegaskan di dalam Alquran.
وَٱلْعَصْرِ ١ إِنَّ ٱلْإِنسَـٰنَ لَفِى خُسْرٍ ٢ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ ٣
"Demi masa. Sesungguhnya semua manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan saling menasihati supaya mentaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran." (QS. Al Ashr : 1-3)
Surah yang pendek ini menyebutkan kepada kita bahwa semua aktivitas manusia mengantarkan mereka kepada kerugian, kecuali 4 kategori yang disebutkan di surat tersebut.
Orang-orang yang menganggap anak sebagai sumber biaya, beban, dan yang lainnya, pasti statement itu keluar dari orang-orang yang lemah imannya, atau bahkan tidak beriman. Karena ketika dia memiliki iman, dia tidak akan menilai hidup hanya 'saya' saja. Hidup bukan hanya terpaku pada 'saya', seorang diri, karena hidup itu dilanjutkan dengan regenerasi.
إِنِّى جَاعِلٌ فِى ٱلْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi" (QS. Al Baqarah : 30)
Apakah mereka ingin terlihat muda terus, karena kalau punya anak menjadi terlihat tua?
Yang termakan dengan propaganda '2 Anak Cukup', kemudian setelah mereka berusia lanjut mengatakan bahwa mereka menyesal. Andai anak mereka lebih dari 2 orang. Lalu bagaimana nasib orang yang tidak mau memiliki anak atau free child? Bagaimana mereka akan menjalani masa tuanya jika tidak memiliki anak? Apakah di panti jompo dengan pelayanan standar yang mungkin tanpa kasih sayang?
Allah telah menjadikan anak sebagai bagian dari perhiasan dunia. Memiliki anak adalah salah satu keindahan yang Allah sebutkan di dalam Alquran.
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلْبَنِينَ وَٱلْقَنَٰطِيرِ ٱلْمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلْفِضَّةِ وَٱلْخَيْلِ ٱلْمُسَوَّمَةِ وَٱلْأَنْعَٰمِ وَٱلْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسْنُ ٱلْمَـَٔابِ
"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)." (QS. Ali Imron : 14)
Bagaimana kemudian bagi sebagian orang bisa merasa seorang anak bukan bagian dari keindahan? Rusak fitrahnya. Bagi orang yang beriman, di antara nilai kedudukan anak di muka bumi bagi orang tuanya adalah sebagai perhiasan.
ٱلْمَالُ وَٱلْبَنُونَ زِينَةُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَٱلْبَٰقِيَٰتُ ٱلصَّٰلِحَٰتُ خَيْرٌ عِندَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا
"Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan." (QS. Al Kahfi : 46)
Setiap orang yang menikah, tujuan utama pernikahan dalam Islam adalah memiliki anak. Maka para ulama tegas mengatakan bahwa orang yang menikah dengan tujuan tidak memiliki anak adalah haram hukumnya di dalam syariat.
Kita harus memahami mindset terkait memiliki anak di dalam Islam. Ini adalah satu fase yang harus kita jalani, namun sayangnya sebagian manusia tidak sadar dengan hal itu, maka mereka lebih mementingkan kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat.
بَلْ تُؤْثِرُونَ ٱلْحَيَوٰةَ ٱلدُّنْيَا وَٱلْءَاخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰٓ
"Tetapi kamu memilih kehidupan duniawi, sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal." (QS. Al A'laa : 16-17)
Kenapa punya anak menjadi penting?
Setiap kita sangat terbatas dalam melakukan ibadah kepada Allah jika hanya mengandalkan apa yang kita lakukan.
Umur kita sangat singkat, belum lagi terpotong dengan banyak hal seperti standar tidur 8 jam di mana itu adalah sepertiga dari bagian hidup kita. Belum lagi terpotong dengan masa 15 tahun pertama kehidupan, penuh dengan kejahilan, main-main, senda gurau, dan semisalnya. Lalu berapa yang tersisa untuk ibadah? Dengan memiliki anak, maka anak itu adalah penerus amal shalih bagi kedua orang tuanya.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, dan doa anak shalih." (HR. Muslim No. 1631)
Dari apa yang dilakukan oleh anak shalih, dari didikan orang tuanya, ketika dia pertama kali menyebut nama Allah, dia membaca Al Fatihah, dia menjalankan shalat, dia menjalankan puasa, dia silaturahim, dia sedekah, dia berbuat baik kepada orang lain, dia melakukan semua kebaikan tersebut, walaupun orang tuanya tidak tahu dengan apa yang dia perbuat, maka orang tuanya tetap mendapatkan pahala dari amal sang anak. Apapun itu.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ
“Sesungguhnya yang paling baik dari makanan seseorang adalah hasil jerih payahnya sendiri. Dan anak merupakan hasil jerih payah orang tua.” (HR. Abu Daud No. 3528, An-Nasa’i dalam Al Kubra, Tirmidzi No. 1358, dan Ibnu Majah No. 2290)
Setiap amalan sang anak, walaupun tidak diniatkan untuk kedua orang tuanya, orang tua tetap mendapat pahala. Ini hebatnya ketika memiliki anak-anak yang shalih. Jika dari 1 anak bisa begitu, lalu bagaimana jika anaknya 2, 3, dan seterusnya? Dengan demikian, setiap anak berbuat kebaikan, ketaatan, dan keshalihan, orang tuanya tetap mendapatkan pahala.
Dari Jarir bin 'Abdillah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ سَنَّ فِـي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ ، وَمَنْ سَنَّ فِـي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِـّئَةً ، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
"Barangsiapa yang memberi teladan (contoh) perbuatan yang baik, ia akan mendapatkan pahala perbuatan tersebut serta pahala orang yang mengikutinya (sampai hari kiamat) tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa yang memberikan contoh kejelekan, maka ia akan mendapatkan dosa perbuatan tersebut serta dosa orang-orang yang mengikutinya (sampai hari kiamat) tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun." (HR. Ahmad IV/357, 358-359, 360, 361, 362, Muslim, No. 1017, An-Nasa-i V/76-77, Ad-Darimi I/130, 131, Ibnu Majah No. 203, Ibnu Hibban No. 3297 dalam Kitab at-Ta’liqatul Hisan ‘ala Shahih Ibni Hibban, Ath-Thahawi dalam Musykilul Atsar No. 243, Ath-Thayalisi No. 705 dan al-Baihaqi, IV/175-176)
Ketika kita membaca kisah yang Allah sebutkan di dalam surah Al Kahfi terkait Nabi Musa 'alayhissalam dan Nabi Khidhr 'alayhissalam.
فَٱنطَلَقَا حَتَّىٰٓ إِذَآ أَتَيَآ أَهْلَ قَرْيَةٍ ٱسْتَطْعَمَآ أَهْلَهَا فَأَبَوْا۟ أَن يُضَيِّفُوهُمَا فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًۭا يُرِيدُ أَن يَنقَضَّ فَأَقَامَهُۥ ۖ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًۭا ٧٧ قَالَ هَـٰذَا فِرَاقُ بَيْنِى وَبَيْنِكَ ۚ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِع عَّلَيْهِ صَبْرًا ٧٨ أَمَّا ٱلسَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَـٰكِينَ يَعْمَلُونَ فِى ٱلْبَحْرِ فَأَرَدتُّ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَآءَهُم مَّلِكٌۭ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًۭا ٧٩ وَأَمَّا ٱلْغُلَـٰمُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَآ أَن يُرْهِقَهُمَا طُغْيَـٰنًۭا وَكُفْرًۭا ٨٠ فَأَرَدْنَآ أَن يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًۭا مِّنْهُ زَكَوٰةًۭ وَأَقْرَبَ رُحْمًۭا ٨١ وَأَمَّا ٱلْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَـٰمَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِى ٱلْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُۥ كَنزٌۭ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَـٰلِحًۭا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَن يَبْلُغَآ أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزَهُمَا رَحْمَةًۭ مِّن رَّبِّكَ ۚ وَمَا فَعَلْتُهُۥ عَنْ أَمْرِى ۚ ذَٰلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِع عَّلَيْهِ صَبْرًۭا ٨٢
"Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: “Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu”. Khidhr berkata: “Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Dan adapun anak muda itu, maka keduanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya Rabb mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya). Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Rabbmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Rabbmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya”. (QS. Al Kahfi : 77-82)
Karena keshalihan seseorang, Allah jaga keturunannya.
وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَٰنٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَآ أَلَتْنَٰهُم مِّنْ عَمَلِهِم مِّن شَىْءٍ ۚ كُلُّ ٱمْرِئٍۭ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
"Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka (dikumpulkan dalam satu surga), dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya." (QS. At Thur : 21)
Setiap orang tua, tidak ada momen yang paling indah bagi mereka selain berkumpul dengan anak-anaknya. Tapi ini dunia, terbatas, momen tersebut pasti akan berakhir, berganti dengan generasi yang lainnya. Namun bagi orang yang beriman dan diikuti dengan keimanan, itu bukan masalah, karena mereka sedang menunggu momen di mana mereka akan dikumpulkan oleh Allah dalam satu surga.
Terkadang orang tua lebih shalih dari anaknya, atau sebaliknya, anak yang lebih shalih dari orang tuanya. Tapi ketika di surga, Allah tidak lagi melihat lagi mana yang lebih tinggi levelnya. Allah akan mengumpulkan mereka di dalam satu surga yang sama. Usianya sama, tidak ada yang terlihat lebih muda, tidak ada yang terlihat lebih tua. Mereka kekal selamanya.
Islam menanamkan kepada kita betapa pentingnya seorang anak. Adanya anak adalah anugerah dari Allah. Anak juga ujian dari Allah. Anak harus diajari, harus dididik. Semua proses mendidik, mengajari, atau memberi nafkah bukanlah sesuatu yang sia-sia, bahkan sedekah terbaik adalah yang diberikan kepada keluarga, termasuk anak-anak.
Rasulullah ﷺ bersabda:
دِيْنَارٌ أنْفَتَهُ في سَبِيْلِ اللهِ وَ دِيْنَارٌ أنْفَتَهُ في رَقَبَةٍ وَ دِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلىَ مِسْكِيْنٍ وَدِيْنَارٌ أنْفَتَهُ في على أهْلِكَ أعْظَمُهَا أجْرًا الَّذِي أنْفَتَهُ على أهْلِكَ
“Dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dinar yang engkau infakkan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan dinar yang engkau nafkahkan kepada keluargamu, pahala yang paling besar adalah dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu“. (HR. Muslim, Ahmad, dan Baihaqi)
Ketika seorang suami, seorang ayah, dengan segala jerih payahnya berusaha untuk mencukupi untuk keluarganya, memberi nafkah untuk keluarganya, itu semua adalah sedekah yang paling besar kualitas pahalanya di sisi Allah. Ini adalah pengeluaran terbaik, pengeluaran yang nanti akan disyukuri di hari Kiamat.
Anak bukanlah beban di dalam syariat. Kita tidak menanggung rezeki mereka.
قُلْ تَعَالَوْا۟ أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ ۖ أَلَّا تُشْرِكُوا۟ بِهِۦ شَيْـًٔا ۖ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا ۖ وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَوْلَٰدَكُم مِّنْ إِمْلَٰقٍ ۖ نَّحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ ۖ وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلْفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ ۖ وَلَا تَقْتُلُوا۟ ٱلنَّفْسَ ٱلَّتِى حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلْحَقِّ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
"Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya)." (QS. Al An'am : 151)
وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَوْلَٰدَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَٰقٍ ۖ نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ ۚ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْـًٔا كَبِيرًا
"Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar." (QS. Al Isra' : 31)
Ini adalah kebiasaan masyarakat Jahiliyah. Mereka membunuh anak-anak mereka karena takut makan bersama anak-anaknya, karena takut mengurangi jatah makan mereka, mengurangi jatah penghidupan mereka. Padahal jika iman mereka benar, sebagian kita merasa bahwa anak adalah beban biaya, tapi Allah yang mengatur rezekinya.
Rezeki bukan hanya uang. Pendidikan dan kesehatan juga rezeki.
Kalau orientasi kita dunia, maka semua yang kita jalani adalah beban. Tapi kalau orientasi kita adalah akhirat, sabarnya orang tua di dalam mendidik anak yang nakal, merapikan perilaku mereka, tutur katanya, menanamkan nilai-nilai kebaikan, sabarnya untuk memenuhi kebutuhan mereka sifatnya materi dan yang lainnya baik yang terkait dengan pendidikan formal dan non-formal, maka itu tidak akan pernah menjadi beban, karena semua sudah diatur oleh Allah.
Kalau kita memikirkan sesuatu yang sudah diatur, itu menunjukkan kalau kita telah berburuk sangka kepada Yang Mengatur. Kita hanya jalani saja, pasti akan ada jalan keluarnya.
Setiap ujian itu jadikan sebagai ujian kita untuk seberapa kuat ketergantungan kita kepada Allah. Kalau ketergantungan kita kuat terhadap Allah, maka Allah akan mencukupi.
وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُۥٓ ۚ
"Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya." (QS. Ath-Thalaq : 3)
Kalau sudah diberikan jaminan tawakkal kepada Allah maka Allah akan mencukupi, lalu kita mau cari pintu yang mana lagi?
Anak itu perhiasan, tapi anak juga bisa menjadi musuh.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّ مِنْ أَزْوَٰجِكُمْ وَأَوْلَٰدِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَٱحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِن تَعْفُوا۟ وَتَصْفَحُوا۟ وَتَغْفِرُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
"Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. At-Taghabun : 14)
Anak juga bisa menjadi fitnah.
وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّمَآ أَمْوَٰلُكُمْ وَأَوْلَٰدُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ ٱللَّهَ عِندَهُۥٓ أَجْرٌ عَظِيمٌ
"Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai fitnah (cobaan) dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar." (QS. Al Anfal : 28)
Anak juga bisa menjadi penyejuk hati.
Setiap orang tua pasti sering mendoakan anaknya dengan doa berikut ini:
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَٱجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
"Wahai Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa." (QS. Al Furqan : 74)
Doa ini sangat sering kita baca, namun kita jarang merenungkan surah ini.
Sebelum Allah menyebutkan doa ini, Allah menceritakan tentang sifat Ibadurrahman.
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
“Dan hamba-hamba Rabb Yang Maha Penyayang itu adalah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (QS. Al Furqan: 63)
Allah menyebutkan tentang ciri-ciri Ibadurrahman. Bagaimana mereka dengan akhlaqnya, dengan tauhidnya, dengan menjauh dari dosa-dosa besar, dengan mudah bertaubatnya, dan seterusnya. Kemudian Allah mengakhiri dengan doa, bahwa di antara ciri lain Ibadurrahman yaitu mereka berdoa:
"Wahai Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa." (QS. Al Furqan : 74)
Ini seakan-akan ada pesan yaitu,
"Bahwa perjuangan hidup itu adalah perjuangan untuk menjadi hamba Allah dengan memperbaiki akhlaq, memperbaiki ibadah, menjaga keshalihan, menjauhi dosa-dosa besar, dan seterusnya."
Setelah perjuangan secara individu, clear, beres, jangan berhenti estafet keshalihan dan ketaqwaan kepada dirimu, teruskan estafet kepada qurrota a'yun, kepada anak-anak yang menjadi penyejuk hati orang tuanya.
Suatu hari, Hasan Al Bashri rahimahullah ditanya tentang makna qurrota a'yun, kemudian beliau berkata:
"Demi Allah, tidak ada yang lebih menyejukkan hati orang tua, tidak ada yang lebih menenangkan dan menentramkan diri mereka melebihi ketika Allah tunjukkan kepadanya anak-anaknya tumbuh sebagai hamba-hamba Allah yang shalih dan shalihah." (Dinukil oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya 3/439)
Kalau visi orang tua adalah menjadikan anaknya sebagai imamnya orang bertaqwa, apa yang harus dilakukan oleh orang tua agar nanti anaknya menjadi imamnya ormag bertaqwa?
Kalau anak dididik secara materialis dan hedonis, bagaimana mereka bisa menjadi imamnya orang bertaqwa?
Menjadi imamnya orang bertaqwa harus disiapkan, dengan dididik, dengan diajari. Sesuai bagaimana Allah yang dengan sangat sempurna di dalam agama ini mengajarkan bagaimana caranya orang tua mendidik anak-anaknya? Apa nilai-nilai yang harus ditanamkan? Apa hal-hal yang harus diingatkan dari anak-anak kita? Apa yang boleh dan apa yang tidak boleh? Bagaimana kita membesarkan mereka? Alhamdulillah sebagai seorang Muslim, Allah telah kenyangkan kita dengan sangat kenyang.
No comments:
Post a Comment