Monday, 21 July 2025

Kajian Senin: Kitab Talbis Iblis - Talbis Iblis antara Fanatik Tradisi dan Ahlul Kalam // Ustadz Syafiq Al Khatieb hafizhahullah

Kajian Senin
Kitab Talbis Iblis karya Ibnul Jauzi rahimahullah
Talbis Iblis antara Fanatik Tradisi dan Ahlul Kalam
Oleh: Ustadz Syafiq Al Khatieb hafizhahullah
Masjid Nurul Iman, Blok M Square, Jakarta Selatan 
Senin, 26 Muharram 1447 / 21 Juli 2025

Pada pertemuan lalu kita telah membahas talbis Iblis kepada orang yang mengingkari Kebangkitan dan Talbis Iblis kepada penganut Reinkarnasi.

• Talbis Iblis terhadap Umat Islam dalam Masalah Aqidah dan Agama

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata,
"Iblis menyusup ke dalam Aqidah umat iniz yakni kaum Muslimin dari dua jalan.

Pertama:
Taqlid buta pada nenek moyang dan pendahulu mereka.

Kedua:
Tenggelam dalam masalah-masalah yang tidak diketahui ujung ataupun pangkalnya, bahkan orang yang tenggelam itu tidak akan bisa sampai pada kedalamannya. Iblis menjerumuskan semua orang yang termasuk ke dalam golongan kedua ini kepada kerancuan.

Iblis tahu berbagai macam cara untuk menyesatkan manusia, dengan berbagai jurus dan jalan. Iblis sudah pengalaman ribuan tahun. Untuk merusak Aqidah seseorang, Iblis bisa masuk melalui 2 jalur ini, yaitu taqlid kepada ajaran nenek moyang, leluhur, dan tradisi. Di sisi lain Iblis masuk melalui hati manusia, masuk melalui pemikiran penalaran filsafat hingga terus masuk ke dalam dan tidak bisa diukur kedalamannya.

Kerancuan bagi siapa yang menempuh jalan pertama; Iblis membuat kerancuan atas orang-orang yang bertaqlid dengan membisikkan bahwa dalil-dalil yang ada tidak jelas dan kebenaran masih samar, sedang taqlid itu jalan selamat. Sebenarnya sudah banyak orang yang tersesat di jalan ini, bahkan karena taqlid inilah yang Islam pasti akan binasa. Karena orang-orang Yahudi dan Nasrani taqlid kepada nenek moyang dan para ulama (rabi dan pendeta) mereka, hingga mereka pun tersesat. Demikian juga yang menimpa orang-orang Jahiliyah.

Ketahuilah bahwa alasan yang dengannya orang-orang tersebut menyanjung taqlid justru membuat diri mereka menjadi tercela. Sebab bila memang dalil-dalilnya tidak jelas serta kebenaran diyakini masih samar, seharusnya taqlid ditinggalkan, agar tidak menjerumuskan ke dalam kesesatan yang telah nyata ini

Sungguh Rabb kita, Allah mencela orang-orang yang bertaqlid kepada nenek moyang dan leluhur mereka.

Allah Ta'ala berfirman:
"Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka. (Rasul itu) berkata: "Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?" Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya". (QS. Az-Zukhruf : 23-24)

Yang dimaksudkannya adalah, "Apakah kalian mengikuti mereka?"

"Karena sesungguhnya mereka mendapati bapak-bapak mereka dalam keadaaan sesat. Lalu mereka sangat tergesa-gesa mengikuti jejak orang-orang tua mereka itu." (QS. Ash-Shaffat : 69-70)

Menolak dalil dan menolak kebenaran dengan nenek moyang masih dipakai sampai hari ini oleh sebagian orang, walaupun yang menyampaikan kebenaran tersebut adalah para Nabi dan Rasul.

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُوا۟ بَلْ نَتَّبِعُ مَآ أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَآءَنَآ ۗ أَوَلَوْ كَانَ ءَابَآؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْـًٔا وَلَا يَهْتَدُونَ

"Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (QS. Al Baqarah : 170)

"(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadah kepadanya?" Mereka menjawab: "Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya". (QS. Al Anbiya : 52-53)

Abu Thalib, Paman Nabi ﷺ ketika hampir mendapatkan petunjuk karena Nabi ﷺ terus mentalqinnya dengan kalimat Tauhid, namun gagal karena Abu Lahab mengatakan, "Apakah kamu tidak suka dengan agama nenek moyang, wahai Abu Thalib?". Ini adalah hujjah bathil, berdalil dengan nenek moyang.

"Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikan dalam neraka, mereka berkata: “Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul”. Dan mereka berkata: “Wahai Rabb kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Wahai Rabb kami, timpakanlah kepada mereka adzab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar”. (QS. Al Ahzab : 66-68)

Ketika dijelaskan tentang perkara Tahlilan, bahwasanya itu tidak ada ajarannya. Mereka terus mencari dalil untuk melegalkan tahlilan. Mayoritas ulama Syafi'iyyah seperti Imam Nabawi rahimahullah mengatakan bahwasanya Tahlilan adalah bid'ah. Kemudian mereka berkata, "ini hanya tradisi".

Selama tradisi tidak bertentangan dengan syariat, maka boleh-boleh saja. Jika memang itu adalah tradisi, maka jangan dijadikan ibadah kemudian mengharapkan pahala darinya.

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata,
"Ketahuilah, orang yang bertaqlid sejatinya tidak benar-benar meyakini kebenaran pendapat yang diikutinya. Bahkan dengan bertaqlid, seseorang telah menyia-nyiakan fungsi akalnya. Karena akal itu diciptakan untuk berpikir dan merenung. Maka tercelalah seseorang yang diberi lilin untuk menerangi jalan, namun dia malah mematikannya dan berjalan dalam kegelapan."

Ketahuilah bahwa, pada umumnya, orang-orang yang mengikuti suatu madzhab akan mengagungkan salah seorang tokohnya, yang kemudian mereka pun mengikuti pendapatnya tanpa merenungkan dahulu isi ucapannya. Ini jelas termasuk kesesatan yang nyata. Sebab seharusnya yang diperhatikan adalah perkataan, bukan yang berkata, sebagaimana jawaban Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu kepada al-Harits bin Hauth yang pernah menegaskan kepadanya, "Apakah engkau mengira kami menyangka Thalhah dan Az-Zubair berada di atas kebathilan?" Maka, Ali pun berkata kepadanya, "Wahai Harits, perkara ini rancu atasmu. Sesungguhnya kebenaran itu tidaklah diketahui dengan ketokohan seseorang. Tetapi kenalilah kebenaran niscaya kamu akan mengetahui pengikutnya."

Sebagian orang yang fanatik, dia bertaqlid kepada orangnya, bukan dalil yang dibawa. Banyak orang yang tidak memahami maksud satu sama lain. Ketika seseorang melarang untuk bertaqlid madzhab, langsung dikatakan anti madzhab. Di sisi lain, seseorang melarang untuk bermadzhab, ini juga tidak benar. Karena awal seseorang belajar, maka dia akan melalui jalur madzhab. Bahkan kita tidak akan bisa mempelajari bab Thaharah, atau ilmu Fiqih pada umumnya kecuali melalui jalur madzhab.

Ketika seseorang fanatik kepada satu madzhab tertentu, maka ini adalah taqlid yang sangat tercela. Madzhab itu berguna untuk kita belajar secara terstruktur. Namun kita harus melihat kepada apa yang disampaikan, bukan kepada tokohnya. Tidak semua dalil sampai kepada satu Madzhab tertentu, sehingga kita harus memerhatikan apa yang disampaikan.

Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata,
"Di antara tanda sempitnya ilmu seseorang yaitu sikap taqlidnya atas orang lain dalam perkara Aqidah."

Aqidah bukan diambil dari imam fulan atau imam fulan. Aqidah diambil dari Alquran dan As-Sunnah, bukan mengikuti orang lain.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ketika menulis Aqidah Washitiyyah, dengan halaman yang tipis, namun banyak tersebar di Mesir sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dipanggil karena beliau menulis buku tentang Aqidah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, "Aqidah bukanlah diambil dariku, bukan pula diambil dari para pembesarku, tetapi Aqidah diambil dari Allah dan RasulNya dan apa yang telah disepakati oleh para Salaful Ummah. Apa yang ada di dalam Alquran wajib diyakini, begitupun apa yang terdapat dalam hadits shahih, maka wajib diyakini seperti Shahih Bukhari dan Muslim." (Majmu' Fatawa)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah bukan mengajak kepada Aqidah dirinya, tetapi beliau mengajak kepada Aqidah Salafush-shalih, Aqidah yang dijelaskan di dalam Alquran dan Sunnah, Aqidah bukan diambil dari tokoh tertentu.

Belakangan ini muncul orang-orang yang disebut dengan istilah Hanabilah Judud, Syafi'iyyah Judud (muncul di Yaman), atau Malikiyyah Judud (muncul di Maroko).

Di antara ciri khas mereka adalah mereka membawa taashub madzhab, fanatik madzhab sampai ke ranah Aqidah; atau mereka memperjuangkan Aqidah tertentu dengan membawa madzhab tertentu, dan ini mulai tersebar bahkan sampai ke Indonesia. Hati-hati jangan tertipu dengan orang seperti ini.

Awal terbentuk madzhab adalah sebagai madrasah untuk orang yang ingin mempelajari Fiqih secara struktur. Ranah pembahasan madzhab hanya berkutat di masalah istidlal Fiqih dan khilaf Fiqih. Tidak ada kaitannya dengan Aqidah. Tapi sekarang justru Aqidah dibawa ke madzhab dan diberikan kepada rakyat. Syubhat terus bertebaran dan sangat disayangkan asatidzah kita jarang sekali yang konsisten membahas masalah Aqidah.

Jika ada yang berkata, "Orang-orang awam tidak mengetahui dalil, bagaimana mungkin mereka tidak boleh bertaqlid?"

Maka akan kami jawab, "Dalil dalam perkara Aqidah (keyakinan) sangatlah jelas sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam bahasan mengenai penganut Dahriyah. Dalil semacam itu tidaklah samar bagi seorang yang berakal. Sementara masalah-masalah furu' (cabang syariat), karena begitu banyak kasusnya, maka tentu saja sulit bagi orang awam untuk mengetahuinya, malahan besar kemungkinan salahnya dalam memahami. Maka itu, yang paling maslahat bagi orang awam adalah bertaqlid kepada para ulama yang sudah mendalami serta mengkaji ilmu agama secara luas. Dengan kata lain, ijtihad orang awam ada pada pemilihan ulama yang akan dia ikuti atau ditaqlid olehnya."


No comments:

Post a Comment