Wednesday, 9 July 2025

Kajian Rabu: Cinta, Cita-cita, dan Keluarga // Ustadz Abdurrahman Zahier hafizhahullah

Kajian Rabu - The Rabbaanians
Cinta, Cita-cita, dan Keluarga
Oleh: Ustadz Abdurrahman Zahier hafizhahullah
Masjid Agung Al Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
Rabu, 14 Muharram 1447 / 9 Juli 2025

Kita tahu bahwa dalam fase kehidupan selalu terkait dengan cinta, cita-cita, dan keluarga. Cinta asmara, cita-cita dan impian, keluarga dan rumah tangga. Dia adalah bagian dari salah satu fase kehidupan, stage of life, tangga kehidupan.

Manusia akan selalu melewati 3 fase ini. Fase di mana dia sedang mengejar cita-citanya, fase di mana sedang membangun cintanya, dan fase di mana sedang membina rumah tangganya. Ketiga hal ini seringkali menjadi masalah dalam hidup kita.

Kadang cita-cita yang dulu kita banggakan justru menjadi sumber pertengkaran. Kadang cinta yang dulu kita elu-elukan hari ini hanya silent treatment di meja makan. Padahal dulu kita saling cinta, tapi mengapa pertengkaran justru sering terjadi.

Ada survey bahwa problematika rumah tangga yang baru saja dimulai, paling banyak terjadi adalah pertengkaran. Ketidakselarasan antara pemahaman, ketidakselarasan antara ide dan gagasan, dan ketidakselarasan antara kebiasaan.

Yang satu introvert, butuh sendiri. Yang satu ekstrovert, butuh selalu ditemani. Yang satu memiliki cita-cita besar. Yang satu ingin hidup tidak terlalu ambisius.

Mengapa demikian? Yang harus kita ketahui adalah ini bukan karena kita gagal, tapi ini karena kita sedang belajar.

Tidak ada rumah tangga yang dimulai langsung mendapatkan kesuksesan di awal. Kesuksesan dalam membina rumah tangga adalah anak tangga yang perlu kita capai dengan tahapan yang tidak sebentar.

Kalau kita kembali ke belakang, bagaimana rumah tangga terbaik di alam semesta, yaitu rumah tangga Rasulullah ﷺ, rumah tangga Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhuma, rumah tangga Abu Bakar dengan Qutailah, rumah tangga Asma' dengan Zubair bin Awwam. Rumah tangga mereka, yang bila kita perlihatkan lagi, mereka bukan hanya memiliki the real love story, tapi mereka juga bisa menjadi prototype, mereka bisa menjadi benchmark kita untuk menentukan bagaimana tahapan dalam memulai lika-liku, riuh rendah, warna-warni, dan berbagai macam dinamika dalam rumah tangga.

Bukankah kita tahu pernah ada pecah piring di rumah Rasulullah ﷺ?
Bukankah kita tahu bahwa sahabat yang mulia, Ali bin Abi Thalib pernah bertengkar dengan istrinya di awal pernikahan karena perbedaan cara pandang? Tetapi tempat kembalinya bukan sekadar adu argumen, tapi kembalinya adalah ke masjid. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu menginap di masjid dan i'tikaf.

Dari Sahl Ibn Sa’ad, dia menceritakan, Rasulullah ﷺ mendatangi rumah Fatimah, namun beliau tidak menemukan Ali. Maka beliau bertanya kepada Fatimah, ”Mana anak pamanmu (Ali)?" Fathimah menjawab, "Kami sedang bertengkar yang membuat aku marah, maka dia keluar dan tidak tidur siang di rumahku.” Rasulullah ﷺ berkata kepada seseorang, "Carilah di mana dia!” Kemudian orang tadi datang dan berkata, "Wahai Rasulullah, dia di masjid sedang tidur", maka Rasulullah ﷺ mendatanginya dalam keadaan berbaring, selendangnya terjatuh dari bahunya dan badannya berdebu, maka Rasulullah ﷺ mengusap debu darinya dan berkata, "Bangunlah wahai Abu Turaab, bangunlah wahai Abu Turaab!” (HR. Bukhari No. 441 dan Muslim No. 2406)

Bukankah kita tahu rumah tangga Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu dengan Fathimah radhiyallahu 'anha juga pernah merasakan burn-out di awal rumah tangga?

Fathimah, yang kelak menjadi sayyidatu ahlul-jannah, pemimpin wanita di surga pernah mengeluh kepada Rasulullah ﷺ karena merasa burn-out, merasa lelah, ingin memiliki asisten rumah tangga. Dia melaporkan kepada Ayahnya. Rasulullah ﷺ, manusia yang paling mulia berkata kepada anaknya tersebut:

أَلاَ أَدُلُّكُمَا عَلَى مَا هُوَ خَيْرٌ لَكُمَا مِنْ خَادِمٍ؟ إِذَا أَوَيْتُمَا إِلَى فِرَاشِكُمَا، أَوْ أَخَذْتُمَا مَضَاجِعَكُمَا، فَكَبِّرَا ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ، وَسَبِّحَا ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ، وَاحْمَدَا ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ، فَهَذَا خَيْرٌ لَكُمَا مِنْ خَادِمٍ

“Maukah kalian berdua aku tunjukkan kepada sesuatu yang lebih baik untuk menghilangkan letihmu daripada seorang pembantu? Jika kalian hendak tidur, ucapkanlah takbir 33 kali, tasbih 33 kali, dan tahmid 33 kali. Hal itu lebih baik dari seorang pembantu.” (HR. Bukhari No. 6318 dan Muslim No. 2727)

Jawaban atas semua letih kita adalah dengan kembali pulang kepada Allah. Jawaban atas segala macam kelelahan hari ini adalah dengan taqarrub kepada Allah.

Lihatlah jawaban Rasulullah ﷺ, beliau bukan menyuruh Fathimah mencari asisten rumah tangga, tetapi Beliau menyuruh untuk bertasbih, bertahmid, dan bertakbir. Kita paham bahwa Rasulullah ﷺ sedang mengajarkan, kelelahan itu bisa dihilangkan dengan cara kita kembali mendekat kepadaNya, kembali make you turn, kembali mengatur arah kehidupan kita dengan mendekatkan diri kepadaNya.

Lika-liku dalam rumah tangga akan selalu terjadi dalam setiap problematika rumah tangga. Ini bukan tentang drama Korea. Ini tentang realita rumah tangga, tentang rumah tangga kebanyakan dari kita, yang di awal pernikahan misinya berbeda, bentrok dengan cita-cita yang selama ini ditulis. Kita sedang naik level cita-cita. Kalau dahulu cita-cita kita hanya ingin sekadar kuliah di luar negeri, atau ingin sekadar mendapatkan exposure dari sosial media, sekarang kita menaikkan cita-cita yang lebih tinggi, dan jauh lebih tinggi. Kita ingin masuk surga bersama pasangan, ingin berada dalam keabadian. Kita tidak ingin mendapatkan spotlight oleh banyaknya padang mata yang melihat, tapi kita ingin mendapatkan spotlight dari Rabbul 'Alamiin, Pencipta semesta alam.

Kebanyakan dari kita memiliki problem tentang financial management. Bagaimana mengatur keuangan dalam rumah tangga? Perlukah istri bekerja juga? Peran baru, mengurus rumah tangga, yang dulunya aktif menuntut ilmu, sekarang sudah jauh dari majelis ilmu.

Sejatinya, dalam hubungan rumah tangga, yang sulit bukanlah menggabungkan dua hati, tetapi menggabungkan dua dunia. Yang satu memiliki background berbeda, yang satu juga memiliki background berbeda. Tujuannya bukan hanya sekadar berbunga, tapi berakar, dan patokan akar adalah ilmu. Sehingga awal problematika yang sampai kepada kita hari ini adalah kita harus punya ilmu.

Membina rumah tangga bukan sekadar mengkoleksi romantisme belaka, bukan sekadar menambah highlight di instastory, bukan tentang koleksi day my life with my new partner. Membina rumah tangga adalah tentang menjaga keutuhan dan kebersamaan hingga mencapai ke surga, dan itu butuh ilmu.

Kesuksesan sebuah bisnis dimulai dari ilmu yang dimiliki oleh para foundernya. Kesuksesan mahasiswa dalam mencapai IPK sempurna, summa cumlaude itu karena ada ilmu yang dimiliki. Maka jika kita berbicara tentang aktivitas ibadah yang paling lama dan paling langgeng untuk mencapai surga Allah, mustahil tanpa ilmu.

Ternyata Rasulullah ﷺ membina rumah tangganya dengan ilmu. Ilmulah yang menguatkan. Ilmu yang membuat rumah tangga kita bukan hanya menjulang ke atas, tetapi juga menghujam ke bawah. Ilmu yang membuat kita bukan hanya bermekaran bunganya, tetapi juga berakar ke bawah. Ilmu itu adalah QalAllah wa QalaRasul, perkataan Allah dan perkataan Rasulullah ﷺ.

Setiap pihak, suami dan istri, di awal rumah tangga perlu kembali belajar. Belajar bagaimana peran untuk membahagiakan. Rumah tangga bukan tempat untuk sekadar mencari kebahagiaan, tetapi tempat untuk membahagiakan. Rumah tangga bukan tempat untuk mencari kenyamanan, tetapi tempat untuk memberi kenyamanan.

Rasulullah ﷺ ketika berada di Gua Hira, saat itu istri Beliau ﷺ, Khadijah radhiyallahu 'anha tidak toxic posessif. Khadijah tetap mengirimkan makanan kepada Rasulullah ﷺ. Ibunda kita paham bahwa me time yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ adalah cara untuk mengurangi hiruk pikuk kemusyrikan di kota Mekkah. Bahkan ketika Rasulullah ﷺ ketakutan melihat rupa asli malaikat Jibril 'alayhissalam yang mengepakkan 600 sayapnya di ufuk barat dan ufuk timur, yang pertama kali disambut oleh Khadijah adalah Rasulullah ﷺ, suaminya yang ketakutan itu. Seandainya saat itu Khadijah hanya memikirkan bagaimana ia mencari ketenangan, tetapi tidak bisa memberikan ketenangan, bisa jadi tidak akan ada peristiwa turunnya surah Muzzammil. Karena surah tersebut terjadi karena Rasulullah ﷺ diberikan selimut, penghangat ketika beliau kedinginan. Peristiwa itu terjadi sebab ada kehangatan yang diberikan oleh sosok yang memberikan kenyamanan kepada pihak yang memberikan kenyamanan juga. Ini bukan tentang bagaimana kita mendapatkan, tetapi ini tentang bagaimana kita memberi. It's all about giving.

Dalam rumah tangga, awal pernikahan, jangan pernah berpikir tentang apa yang kita dapatkan dari pasangan, tapi apa yang bisa kita berikan untuk pasangan. Apa yang bisa saya dapatkan atas pahala dari yang saya berikan untuk pasangan.

Problematika rumah tangga Rasulullah ﷺ tidak mudah. Hari ini sebagian kita memiliki permasalahan dengan anak-anaknya yang sudah mulai berani membantah, sudah memiliki argumen, atau anak yang masih toddler membuat rumah berantakan.

Tahukah kita bahwasanya Rasulullah ﷺ memiliki 6 anak dari Khadijah yaitu Ruqoyyah, Ummu Kultsum, Zainab, Fathimah, Abdullah, dan Qosim. Cukup? Belum. Beliau ﷺ juga mengurusi Hind bin Abi Halah, yaitu anak Khadijah dengan suami sebelumnya. Cukup? Belum. Beliau juga mengurusi sepupunya, Ali bin Abi Thalib. Cukup? Belum. Beliau ﷺ juga mengurusi sosok yang menjadi budak, yaitu Zayd bin Haritsah. Beliau ﷺ juga mengangkat anak. Jadi kalau kita merasa pusing dengan rumah tangga kita, mari kita compare dengan rumah tangga Rasulullah ﷺ. Ada jaminan bagi Khadijah mendapatkan rumah di surga, karena Khadijah tidak pernah meninggikan suaranya di hadapan suaminya. Tidak pernah terjadi kebisingan antara Rasulullah ﷺ dengan Khadijah, karena fokusnya adalah bagaimana memberikan kenyamanan, bukan bagaimana mendapatkan kenyamanan.

Problematika rumah tangga kita selalu terpaut di antara perkenalan suami dengan istri. Taaruf bukan aktivitas satu kali seumur hidup, tetapi aktivitas sepanjang hidup bersama pasangan. Ketika menikah, ketahuilah itu fase lanjutan dalam mengenali pasangan. Setiap hari selalu ada cerita baru, setiap hari selalu ada kisah baru, yang tujuannya adalah kita memang sedang membuka lembaran demi lembaran, hikmah, pelajaran demi lembaran yang kita dapatkan dari pasangan dan tujuannya untuk memahamkan. Selalu ada luka yang bisa dijadikan pelajaran untuk mendewasakan diri kita.

1. Kita butuh ilmu dalam rumah tangga.
Kita butuh terus belajar. Tidak ada yang berumah tangga langsung berada pada tahapan S3. Begitu banyak pelajaran yang didapatkan dalam rumah tangga.

Kita sedang belajar. Belajar untuk menahan ego bersama. Belajar untuk mendahulukan daripada ingin didahulukan. Belajar untuk melayani bukan untuk dilayani. Belajar untuk merendahkan tone suara ketika ingin menaikkan tone suara. Belajar untuk menurunkan ego, cita-cita individu, dan mengedepankan cita-cita bersama. Cita-cita pribadi bisa dicari, tetapi kebahagiaan yang menjadi cita-cita di dalam rumah tangga adalah sesuatu yang jauh lebih berharga.

Kebahagiaan rumah tangga, itulah kebahagiaan yang dirasakan Rasulullah ﷺ bersama istri-istrinya. Kebahagiaan yang dirasakan oleh Ali bin Abi Thalib bersama Fathimah. Kebahagiaan yang dirasakan oleh Utsman bin Affan bersama Nailah binti al-Farafishah. Kebahagiaan yang dirasakan oleh Abu Darda' bersama Ummu Darda'. Kebahagiaan yang mereka dapatkan karena mereka melaluinya dengan ilmu.

2. Islam bukan hanya mengatur akad, tetapi juga mengatur dinamika setelahnya.
Agama kita memiliki panduan yang jelas. Bukan hanya sebelum pernikahan, tetapi ketika pernikahan, setelah pernikahan. Selama kita masih berada di dunia, maka kita diatur oleh Islam, apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan.

Kita belajar bagaimana Islam mengatur kita. Suami tidak boleh serta merta memukul istri. Istri juga hendaknya taat kepada perinta suaminya dalam perkara yang dibenarkan dalam agama. Dalam perkara talak, istri tidak boleh dengan mudah minta diceraikan tanpa alasan yang syar'i. Tatkala terjadi pertengkaran di antara suami istri, maka kembali ke masjid. Semuanya sudah diatur oleh syariat.

Kita tidak akan bisa mendapatkan keindahan rumah tangga yang paling indah kecuali Islam telah mengaturnya. Islam telah memberikan panduan yang begitu jelas dan bisa kita pelajari. Tinggal kita pilih, apakah kita mau belajar atau tidak. Jangan sampai apa yang kita lakukan dalam berbagai konflik rumah tangga ini tidak berdasar. Semua harus kembali kepada apa yang Allah inginkan di dalam Alquran, kepada apa yang Rasulullah ﷺ sampaikan di dalam haditsnya, kepada contoh-contoh dari Para Sahabat.

3. Pernikahan bukan final dari perjuangan, tetapi adalah awal dari tanggung jawab
Ketika kita menikah, dan akad sudah terjadi, maka pindahlah tanggung jawab dari Ayah kepada suami. Berpindahlah status yang baru dimulai, yaitu suami dan istri. Ini adalah amalan kita membina dalam lika-liku rumah tangga.

Hal yang paling pelik dan rumit dalam kehidupan manusia adalah fase rumah tangga. Mereka yang mendapatkan kepelikan akan merasakan letih yang panjang jika tidak memiliki fondasi keilmuan dan keimanan. Hal yang harus ditumbuhkan sejak awal adalah keimanan.

Dalam rumah tangga, terkadang kita harus menurunkan ego. Yang terjadi dalam kehidupan kita saat ini, ketika kita membawa masa lalu dalam rumah tangga maka justru ego yang terbawa, bukan kemaslahatan dalam rumah tangga.

Berbagai hal yang terjadi dalam rumah tangga adalah karena kita membawa beban masa lalu. Kita membawa luka masa lalu sehingga kita tidak objektif. Kita harus tahu bahwasanya dalam rumah tangga akan teruji kejujurannya.

Allah telah memberikan ayat yang romantis di dalam Alquran:

هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ

"Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka." (QS. Al Baqarah : 187)

Allah mengumpamakan bahwa pasangan adalah pakaian. Fungsi pakaian adalah melindungi, menutupi kekurangan. Tujuan kita berumah tangga adalah melindungi kehormatan pasangan. Sudahkah kita menjadi pakaian bagi pasangan kita?

Terkadang benturan datang dan terjadi karena ekspektasi dan cita-cita. Kita sering berbenturan dengan realita keadaan.

Rumah tangga yang hebat dan agung selalu memiliki visi. Jika kita sudah bahwa visi kita adalah surga, maka jalan yang ditapaki oleh pencari surga tidaklah mudah, butuh perjuangan, dan tidak boleh mudah mengeluh. Tidak masalah jika kita harus membuat musyarawah untuk menentukan apa yang menjadi visi kita selama tidak bertentangan dengan syariat. Fokuslah untuk menjadi sebaik-baik peran dalam rumah tangga. Peran suami dan istri harus memiliki tujuan dan visi yang sama, yaitu masuk surga. Peran yang menjadi tanggung jawab di dalam rumah tangga harus dengan keridhoan dari Allah.

Seorang Muslim harus siap ditempatkan di mana saja.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

طُوبَى لِعَبْدٍ آخِذٍ بِعِنَانِ فَرَسِهِ فِي سَبِيلِ الله أَشْعَثَ رَأْسُهُ مُغْبَرَّة قَدَمَاهُ إِنْ كَانَ فِي الْحِرَاسَةِ كَانَ فِي الْحِرَاسَةِ وَإِنْ كَانَ فِي السَّاقَةِ كَانَ فِي السَّاقَةِ إِنْ اسْتَأْذَنَ لَمْ يُؤْذَنْ لَهُ وَإِنْ شَفَعَ لَمْ يُشَفَّعْ
 
"Sungguh telah beruntung seorang hamba yang dia memegang tali kekang kudanya dalam jihad fii sabilillah. Rambut kepalanya kusut sedangkan kakinya berbalut debu. Jika dia mendapat tugas untuk berjaga, maka dia terima tugas tersebut dan dia laksanakan. Begitu pula jika ditugaskan di posisi pasukan paling belakang, diapun menjalankan tugasnya. Apabila dia memohon izin maka tidak diizinkan dan apabila meminta syafa’at (sebagai perantara) tidak diterima (karena tidak terkenal)." (HR. Bukhari)

Ini bukan tentang bagaimana dulu kita tampil di depan, lalu sekarang kita berada di belakang. Ini adalah tentang peran kita mengarahkan ke mana, peran kita sedang diarahkan ke mana. Karena sekadar peran saja, seorang yang tidak dikenal di bumi bisa dikenal di Langit sebagaimana Uwais Al Qorni rahimahullah.

Kita harus paham bahwa diamnya seorang wanita di rumah, melayani suaminya di rumah itu bukan sedang berjalan mundur. Itu adalah peran besar dalam membangun peradaban.

وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ

"Seorang istri adalah pemimpin di dalam rumah tangga suaminya dan terhadap anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka." (HR. Bukhari No. 2554 dan Muslim No. 1829)

Istri bukanlah asisten rumah tangga, melainkan pemimpin di rumah. Istri berperan besar terhadap apa yang dipimpinnya di dalam rumah.

Kisah Nabi Musa 'alayhissalam sangat bermulai dari Ibunya.

وَأَوْحَيْنَآ إِلَىٰٓ أُمِّ مُوسَىٰٓ أَنْ أَرْضِعِيهِ ۖ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِى ٱلْيَمِّ وَلَا تَخَافِى وَلَا تَحْزَنِىٓ ۖ إِنَّا رَآدُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ ٱلْمُرْسَلِينَ

"Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul." (QS. Al Qashash : 7)

Nabi Musa 'alayhissalam ditemukan oleh seorang ibu juga, yaitu Asiyah, istri Firaun. Inilah dua ibu yang menjadi awal kisah Nabi Musa 'alayhissalam.

Ketenangan berawal dari rumah. Kita harus paham bahwa ini adalah ibadah yang berubah bentuk. Kalau dulu kita bisa ke majelis ilmu, dan sekarang bagi kita yang sudah menikah kemudian tidak bisa datang ke majelis ilmu, maka itu hanya perubahan ibadah.

4. Konflik ketika berumah tangga adalah konflik antara menantu dan mertua.
Konflik yang terjadi biasanya dari Ibunya suami dengan istri.

Ini tentang kedewasaan, yaitu kedewasaan untuk memberikan solusi. Jika akan terjadinya mertua dan menantu, maka di sini adalah peran suami. Suami adalah benteng bagi kedua bidadarinya. Jika benteng itu rapuh, maka suami membiarkan kedua bidadarinya saling melukai.

Suami harus menjadi jembatan bagi kedua bidadarinya untuk bisa saling mendekat, agar tidak terjadi pertikaian antara mereka berdua, agar mereka bisa datang dan duduk bersama di majelis ilmu.

Menikah adalah tentang mencari teman berbakti, untuk semakin berbakti kepada orang tua. Sehingga konflik antara mertua dan pasangan bisa kita halau atas izin Allah.

5. Rumah tangga akan memiliki lika-liku yang semakin pelik kalau kita tidak dilalui dengan kelembutan.

Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِى شَىْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَىْءٍ إِلاَّ شَانَهُ

“Sesungguhnya kelembutan tidaklah diberikan pada segala urusan melainkan akan menghiasinya, dan tidaklah kelembutan ditarik dari tiap urusan kecuali akan menjadikannya buruk“. (HR. Muslim No. 2594)

Jangan gegabah dalam menghadapi konflik. Minta tolong kepada Allah untuk menyelesaikan problematika dalam rumah tangga, agar Allah memberikan kelembutan di dalam rumah tangga.

وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ

"Dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang." (QS. Ar-Ruum : 21)

No comments:

Post a Comment