Wednesday, 6 August 2025

Kajian Rabu: Untuk Kamu yang Baperan // Ustadz Muhammad Halid Syar'ie hafizhahullah

Kajian Rabu // The Rabbaanians
Untuk Kamu yang Baperan
Oleh: Muhammad Halid Syar'ie hafizhahullah
Masjid Agung Al Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
Rabu, 13 Shafar 1447 / 6 Agustus 2025

Alhamdulillah pada malam hari ini kita bisa kumpul lagi, memanfaatkan waktu yang Allah berikan kepada kita untuk kembali mengumpulkan pundi-pundi kebaikan. Kalau kita melihat, dari seluruh waktu yang Allah berikan, kita yakin bahwa sebenarnya tidak banyak waktu yang kita pakai untuk kebaikan. Namun kita manusia senantiasa berusaha untuk mengisi waktu kita dengan kebaikan.

Dari sekarang kita muhasabah saat kita datang ke majelis ilmu. Bahwa yang kita inginkan yaitu mau mendapatkan ilmu. Kita harus punya niat ini.

Kita harus sadar, kebenaran tidak hanya dinilai bahwa kajiannya hanya sesuai dengan sunnah, tetapi harus tulus dan ikhlas. Niat utama kita adalah ilmu.

Semua orang punya perasaan, sehingga peluang untuk bisa baper itu besar. Kita akan membedah dan melihat PoV syariat untuk orang-orang yang baperan itu bagaimana? Kenapa begitu? Karena kita mengetahui bahwa kita makhluk sosial, tidak mungkin hidup sendiri.

وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ ۗ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا

"Dan kami jadikan sebahagian kamu ujian bagi sebahagian yang lain. Maukah kamu bersabar? dan adalah Rabbmu maha Melihat." (QS. Al Furqan : 20)

Allah mau kasih tahu bahwa selama Anda bergaul, entah itu dengan keluarga, tetangga, komunitas, atau teman-teman, selama Anda menjadi makhluk sosial, maka orang-orang yang Anda pandang itu berpotensi menjadi ujian bagi kita, bahkan istri kita sendiri, bahkan orang tua kita sendiri, bahkan anak kita sendiri, semuanya berpotensi menjadi ujian bagi kita. Makanya ujian setiap orang itu beda-beda, karena Allah sudah pastikan manusia dengan manusia yang lain sebagai fitnah (ujian).

وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنَ ٱلْخُلَطَآءِ لَيَبْغِى بَعْضُهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَقَلِيلٌ مَّا هُمْ ۗ

"Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat dzalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih; dan mereka sangat sedikit." (QS. Shad : 24)

Allah juga mau kasih tahu bahwa teman komunitas kita, yang biasa kita temui, bahkan keluarga kita, mereka yang paling berpotensi untuk kita terkena kedzaliman mereka. Semakin kita sering bersama mereka, semakin besar potensi kita terkena kedzalimannya. Sama halnya, kita juga berpotensi dzalim kepada mereka.

Rasulullah ﷺ bersabda:

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik bagi keluarganya." (HR. Tirmidzi No. 3895 dan Ibnu Majah No. 1977)

Kenapa?
Karena potensi dzalim kita kepada keluarga lebih besar, karena sering bertemu dan interaksi.

Dari semua potensi manusia yang akan menjadi fitnah bagi kita, Rasulullah ﷺ bersabda:

المُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَ يَصْبِرُ عَلَى آذَاهُمْ أَفْضَلُ مِنَ الَّذِي لاّ يُخَالِطُ النّاَسَ وَ لاَ يَصْبِرُ عَلَى آذَاهُمْ

“Seorang mukmin yang bergaul di tengah masyarakat dan bersabar terhadap gangguan mereka, itu lebih baik dari pada seorang mukmin yang tidak bergaul di tengah masyarakat dan tidak bersabar terhadap gangguan mereka” (HR. Tirmidzi No. 2507, Bukhari dalam Adabul Mufrad 388, dan Ahmad 5/365)

Inilah masalah kita. Pada saat kita bergaul, terkadang kita nggak sabar. Kita sering baper, kita sering tersinggung. Ini harus kita tanggulangi. Kita harus belajar supaya bisa menanggulangi perasaan-perasaan seperti itu. Mungkin di antara kita ada yang merasakan, kalau kita sering baperan, sepertinya kita akan menjadi orang yang paling tersiksa di dunia. Menjadi baper itu capeknya luar biasa. Overthinking bikin orang lelah. Orang yang perasaannya sudah lelah, itu lebih lelah daripada ngegym, basket, main mini soccer atau aktivitas lain.

Islam menjaga supaya perasaan kita nggak lelah terus, atau kalaupun memang lelah tapi lelah yang benar.

Bukan berarti baperan itu semuanya negatif. Ketersinggungan, sensitivitas, marah, itu nggak selalu diframing sebagai sesuatu yang negatif di dalam Islam.

Ini juga perlu dipahami. Banyak orang yang mencela kita, bahkan mencela agama. Kalau ada orang Muslim yang marah ketika agamanya dihina, mereka mencela bahwa kita baperan. Kemarahan yang didasari atas penghinaan kepada Allah dan RasulNya itu adalah bagian dari agama, bagian dari iman. Kalau ada orang yang tidak marah ketika Allah dan RasulNya dihina, itu adalah bentuk kebobrokan keimanan.

وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِٱللَّهِ وَءَايَٰتِهِۦ وَرَسُولِهِۦ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ

"Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?" (QS. At Taubah : 65)

Apa kata Allah kepada orang yang mencela atau bercanda dengan agamanya?

لَا تَعْتَذِرُوا۟ قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَٰنِكُمْ ۚ

"Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman." (QS. At Taubah : 66)

Ayat ini mengajarkan kepada kita bahwa ada baper yang positif. Marah terhadap penghinaan kepada Allah dan RasulNya adalah hal yang normal.

Baper biasanya didasari dari 2 karakter di dalam jiwa. Kalau 2 karakter ini bisa kita kontrol, maka baperan akan terkikis dalam karakter kita. Biidznillah. Karakter-karakter itu adalah:
1. Suudzon
Kalau kita bicara tentang baper, kita akan bicara tentang suudzon, berprasangka buruk kepada orang lain.

Selamat perjalanan kita sebagai manusia, sudah berapa kali kita baper? Lihat awalnya. Bukankah itu karena prasangka buruk kita kepada orang lain? Ini masalah utamanya. Bahwasanya suudzon yang mendasari orang-orang baper menjadi berkembang, karena mempunyai jiwa yang selalu diikuti.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang." (QS. Al Hujuraat : 12)

Allah kasih tahu bahwa sebagian prasangka itu dosa. Setiap di antara kita yang berani bahwa suudzon adalah salah satu cara kita menilai orang, maka kita akan terjatuh ke dalam banyak dosa, maka kita akan baper.

Rasulullah ﷺ bersabda:

إِيَّا كُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ

“Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah sedusta-dusta ucapan." (HR. Bukhari hadits No. 6064 dan Muslim hadits No. 2563)

Dari sini kita belajar bahwa di dalam syariat Islam yang indah ini, perasaan bukanlah dalil. Kita tidak boleh beribadah menggunakan perasaan. Ibadah tidak dibangun di atas ibadah.

Dasar dari perasaan adalah perkataan yang paling dusta. Makanya di dalam syariat tertutup sekali menggunakan perasaan dalam ibadah. Jangan bicara agama dengan perasaan, karena tidak akan beres. Jangan bicara hukum dengan perasaan.

Para ulama yang bisa menentukan sesuatu itu halal atau haram harus menghilangkan perasaan. Perasaan tidak boleh menjadi salah satu unsur untuk menentukan hukum dalam agama.

Rasulullah ﷺ bersabda:

لاَ يَقْضِيَنَّ حَكَمٌ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَهُوَ غَضْبَانُ.

"Seorang hakim tidak boleh memutuskan perkara di antara dua orang dalam keadaan marah." (Muttafaqun 'Alayh)

Marah adalah bagian dari perasaan yang kalau dia masuk dalam diri seseorang, maka keputusannya tidak akan bijak, tidak akan objektif. Begitupun ketika seorang hakim terlalu  bahagia, dia juga tidak boleh memutuskan sebuah perkara. Dia harus berada dalam posisi yang objektif.

Bahkan kata para ulama, seseorang tidak boleh menjadi hakim ketika dia terlalu lapar, terlalu haus, terlalu letih, dan terlalu sedih. Kita lihat bagaimana Islam sangat menjaga perasaan seseorang.

Orang yang baperan itu karena dia sering merawat sifat suudzon. Lalu apa harus kita lakukan? Yaitu kita harus mendidik jiwa kita untuk husnudzon, berprasangka baik.

Jangan membangun nilai kepada seseorang dengan keburukan. Apalagi biasanya kita baper dengan teman-teman, keluarga, atau pasangan. Maka itu tidak akan beres. Kalau didiamkan, setan akan masuk ke dalam diri orang yang baperan.

Suudzon adalah pintu setan. Ini bisa mengacaukan rumah tangga atau pintu pertemanan. Kalau suudzon terus dirawat, maka kita tidak akak berhenti menjadi orang yang baperan.

لَّوْلَآ إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ ٱلْمُؤْمِنُونَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتُ بِأَنفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا۟ هَٰذَآ إِفْكٌ مُّبِينٌ

"Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohon itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata". (QS. An Nuur : 12)

Ayat ini turun ketika terjadi fitnah terhadap Aisyah radhiyallahu 'anha yang dituduh berzina.

Allah menurunkan ayat tersebut kepada kaum Muslimin, "Katakan kepada diri kalian sendiri, apakah mungkin kalian yang beriman itu berzina?"

Diriwayatkan bahwa istri Abu Ayyub al-Anshari berkata kepadanya ketika para pendusta itu telah menuduh ‘Aisyah: “Apakah kamu telah mendengar apa yang dikatakan orang-orang tentang ‘Aisyah?" Abu Ayyub menjawab: “Ya, aku telah mendengarnya, dan itu adalah berita bohong. Apakah mungkin kamu akan melakukan hal seperti itu hai Ummu Ayyub?” dia menjawab: “Demi Allah, itu tidak mungkin aku lakukan.” Lalu Abu Ayyub berkata: “Demi Allah, sungguh ‘Aisyah lebih baik dan lebih suci darimu, itu semua hanyalah kebohongan dan tuduhan bathil.”

Aisyah radhiyallahu 'anha adalah wanita terbaik.
Dari sini kita memahami bahwasanya Allah menginginkan kita untuk memiliki sifat husnudzon.

2. Sombong
Ternyata kalau orang yang baperan itu indikasi ada kesombongan di dalam jiwa. Orang yang baperan, indikasi kesombongannya besar, dia merasa manusia remeh di bawah dia.

Rasulullah ﷺ bersabda:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ

“Tidak akan masuk surga orang yang ada kesombongan seberat biji sawi di dalam hatinya.” (HR. Muslim No. 2749)

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَٰٓئِكَةِ ٱسْجُدُوا۟ لِءَادَمَ فَسَجَدُوٓا۟ إِلَّآ إِبْلِيسَ أَبَىٰ وَٱسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ ٱلْكَٰفِرِينَ

"Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir." (QS. Al Baqarah : 34)

Iblis tidak mau sujud kepada Adam karena sombong. Menurut Iblis, dia tidak pantas sujud kepada Adam. Jadi, orang-orang yang memiliki kesombongan, dia terindikasi memiliki karakter Iblisiyyah, karakter seperti Iblis. Naudzubillah.

Kalau kita ingin mengurangi sifat emosional, maka kurangilah kesombongan dalam jiwa. Dengan mengurangi kesombongan dalam jiwa, emosional akan turun, sensitivitas akan turun.

Para Sahabat Nabi ﷺ yang ikut andil dalam dakwah tidak ada yang baperan.

Kita lihat Khalid bin Walid radhiyallahu 'anhu.
Beliau ketika dipasang menjadi jagoan di zaman Rasulullah ﷺ dan zaman Abu Bakar radhiyallahu 'anhu, tidak pernah kalah. Tetapi di zaman Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu, beliau diganti oleh Abu Ubaydah bin Al-Jarrah radhiyallahu 'anhu. Ketika jabatan Khalid bin Walid diturunkan oleh Umar bin Khattab, beliau tidak baper. Para Sahabat radhiyallahu 'anhuma 'ajmain, di mana mereka bisa bermanfaat, mereka berjalan. Khalid bin Walid tetap ikut peperangan Meskipun tidak lagi menjadi pemimpin.

Penanggulangan dari kesombongan bukan hanya tawadhu', tetapi adalah akhlaq yang baik. Akhlaq ini sangat mampu menurunkan kebaperan yang kita miliki. Akhlaq tersebut adalah at-Taghoful, yaitu pura-pura kepada orang lain seolah-olah dirinya tidak tahu, padahal tidak demikian.

Pura-pura tidak tahu ternyata bisa menjadi akhlaq terpuji. Kalau saja kita memiliki akhlaq ini, maka ini akan lebih aman. Cuek dalam setiap perkara. Tidak semua masalah harus kita ketahui. Siapa yang bisa mengamalkan taghoful, maka kita akan senang dan bahagia.

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan:

العافيةُ عشرةُ أجزاءٍ كُلُّهَا في التَّغَافُلِ

“Keselamatan itu ada 10 cabang, semuanya didapatkan dengan taghaful” (HR. Al Baihaqi dalam Manaqib Imam Ahmad).

Kalau Rasulullah ﷺ dalam berdakwah selalu memikirkan perkataan orang, ketika beliau dikatakan gila, dikatakan sebagai penyihir, maka tidak akan selesai dakwahnya.

Nasihat Syaikh Ziyyad, murid Syaikh Albani rahimahullah:
"Kalau di rumah, jangan membuat dirimu letih. Perbanyaklah taghoful."

Para ulama mengatakan bahwa taghoful adalah salah satu akhlaq yang baik.

Ada seorang alim bernama Hatim Al Asham.
Hatim al-Asham merupakan murid dari Syeikh Syaqiq Al-Balkhy. Beliau dijuluki al-Asham karena beliau tidak mau mendengar aib seseorang.

Suatu ketika ada tamu wanita yang kentut, dan orang tersebut malu. Dengan raut wajah bersalah, seolah merasa tidak punya adab ia hanya mengusap dagu dan tidak tahu harus berbuat apa. Hatim Al Asham sempat kaget, namun berusaha menutupi hal tersebut. Seolah tidak terjadi apa-apa, sebagai orang ‘alim, beliau tahu bahwa orang tersebut tidak sengaja kentut hingga beliau mengucapkan “bisa diulang lebih keras?” beliau bersikap seolah seorang tua pada umumnya yang kurang pendengaran. Dari sinilah beliau mendapat julukan Al-Asham (tuli).

Rasulullah ﷺ adalah orang yang paling mengamalkan taghoful.

وَإِذْ أَسَرَّ ٱلنَّبِىُّ إِلَىٰ بَعْضِ أَزْوَٰجِهِۦ حَدِيثًا فَلَمَّا نَبَّأَتْ بِهِۦ وَأَظْهَرَهُ ٱللَّهُ عَلَيْهِ عَرَّفَ بَعْضَهُۥ وَأَعْرَضَ عَنۢ بَعْضٍ ۖ فَلَمَّا نَبَّأَهَا بِهِۦ قَالَتْ مَنْ أَنۢبَأَكَ هَٰذَا ۖ قَالَ نَبَّأَنِىَ ٱلْعَلِيمُ ٱلْخَبِيرُ

"Dan ingatlah ketika Nabi ﷺ membicarakan secara rahasia kepada salah seorang isterinya (Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (pembicaraan Hafsah dan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafsah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah) lalu (Hafsah) bertanya: "Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?" Nabi ﷺ menjawab: "Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. At Tahrim : 3)

Para ulama mengatakan bahwa inilah dasar dalil dari akhlaq yang bernama Taghoful.

Taghoful akan menolong kita dari perasaan yang negatif. Kita akan terhindar dari sifat baperan kalau memiliki sifat taghoful, cuek dalam hal yang benar, bukan cuek dalam segala hal. Taghoful yang berlebihan adalah hal yang tercela. Tidak boleh taghoful dalam maksiat yang besar.

Di antara kunci yang Allah berikan kepada Nabi ﷺ adalah:

خُذِ ٱلْعَفْوَ وَأْمُرْ بِٱلْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ ٱلْجَٰهِلِينَ

"Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh." (QS. Al A'raaf : 199)

Di antara kewibawaan orang-orang yang pandai adalah tidak menjawab orang-orang yang bodoh, tidak memikirkan perkataan orang-orang yang bodoh. Ini prinsip yang Allah berikan kepada Nabi Muhammad ﷺ saat orang-orang musyrikin dan munafik menyerang Nabi ﷺ. 

Dari sini kita belajar bahwa tidak semua omongan orang harus didengar dan dipikirkan. Kita pilah-pilih agar kita tidak menjadi orang yang baperan.

No comments:

Post a Comment